Minggu, 12 Juli 2020

Setelah sebulan menggunakan kartu By.U


Saya pengguna nomor Telkomsel selama hampir delapan tahun. Sejak Covid-19 merebak dan di rumah pakai Wi-Fi untuk terhubung ke internet, saya jarang sekali mengecek pulsa. Lebih sering menyalakan mode pesawat.

Tibalah masa ketika sinyal di layar bertanda silang.

Saya datang ke Grapari. Menanyakan nomor saya yang error. Oleh si petugas cuma menjawab sederhana. Nomor saya mati dan tidak bisa diaktifkan kembali. Nomor kantor, CENTRIO INDONESIA, masih mending. Bisa diaktifkan dengan syarat pindah paket ke Kartu Halo dan bayar di awal untuk tiga bulan langganan. Alamak.

Tiba-tiba saya teringat dengan beberapa akun yang terhubung dengan nomor itu.

Akun ojek online, perbankan, hingga E-commerce.

Antisipasi pertama saya adalah mengaktifkan nomor XL. (nomor ini selanjutnya menjadi nomor CENTRIO INDONESIA).

Pengubahan nomor perbankan, dompet digital dan akun belanja daring nanti saya tuliskan di catatan selanjutnya.

Setelah menggunakan XL selama satu pekan, saya tertarik menggunakan provider digital baru, By.U.

By.U ini sebenarnya adalah satu afiliasi dengan Telkomsel. Sama seperti Switch-nya Smartfren dan Live On-nya XL.

By.U tidak punya kantor fisik. Semua layanan dilakukan secara daring (online).

Bagaimana saya membeli nomor baru?

Ini pengalaman yang unik. Saya unduh aplikas By.U di Play Store. Daftar menggunakan akun Google. Lalu kita diminta untuk memilih paket.

Pilihannya seperti ini:

Data
Masa berlaku
Harga
1 GB
1 day
Rp 4,000,-
2 GB
3 days
Rp 9,000,-
10 GB
1 day
Rp 10.000,-
3 GB
14 days
Rp 15.000,-
10 GB
30 days
Rp 50.000,-
23 GB
30 days
Rp 100.000,-
Unlimited
Kecepatan 1 Mbps
7 hari
Rp 30.000,-
Unlimited
Kecepatan 1 Mbps
30 hari
Rp 100.000,-

Ada juga pilihan Topping Data. Kuota internet yang khusus untuk aplikasi tertentu.

Ada kuota khusus YouTube,  Instagram, Facebook, WhatsApp, Joox, Viu, Line, Twitter, Telpon hingga Roaming.

Ada promo menarik yang bisa kita dapatkan. Misalkan YouTube. Ada promo 100 GB yang berlaku satu hari dengan harga Rp 10.000.

Jangan lupakan paket Telpon ke sesama By.U yang hanya Rp 1.000 sebanyak 43.200 menit. Itu setara dengan 720 jam. Atau sama dengan 30 hari penuh. Kamu apa kuat telponan selama itu?

Balik lagi ke pembahasan.

Setelah saya memilih paket 3 GB/14 hari, saya coba beli juga paket telpon Rp 1000 itu. Tak lupa saya beli juga pulsa sebesar Rp 20.000.

Selanjutnya, kita akan masuk ke halaman pemilihan nomor By.U.

Akan ada lima nomor yang bisa kita pilih dan otomatis berganti lagi dalam lima menit jika kita abaikan nomor tersebut.

So, jika ingin mendapatkan nomor cantik, manis, baik hati, tidak sombong, kamu harus bersabar dan yakin. Bersabar setiap lima menit. Dan yakinkan dirimu bahwa nomor yang kamu pilih adalah nomor terbaik. Jika tidak? Nomor sebelumnya tidak akan muncul lagi (sesuai dengan pengalaman saya). Kalau mantan muncul lagi? Ya harap bersabar. Ini ujian.

Pilih paket data sudah. Nomor juga sudah. Selnajutnya adalah pilihan pengambilan atau pengantaran.

By.U menyediakan titik ambil kartu di gerai-gerai tertentu. Kamu bisa melihatnya di aplikasi.

Jika ingin diantarkan ke rumah, Kamu cukup membayar Rp 10.000 dan nomormu akan diantarkan oleh kurir JNE. Iya, cuma ada satu jasa kurir disitu.

Totalnya berapa? Bayarnya bagaimana?

Item
Harga
Paket 3 GB
Rp 15,000,-
Paket Telpon By.U
Rp 1,000,-
Pulsa
Rp 20,000,-
Biaya pengantaran
Rp 10,000,-
Total
Rp 46,000,-

Pilihan pembayaran tersedia mulai dari LinkAja, transfer bank, Indomaret hingga dompet digital macam GoPay, OVO, DANA.
Setelah itu, nomor By.U kamu akan datang dalam 2-4 hari.

Apa yang saya suka dari By.U?
  • Tidak ada masa aktif/tenggang asalkan kartu kita selalu dalam keadaan standby.
  • Pilihan paket tidak terbagi waktu.
  • Ada pilihan topping yang murah meriah seperti topping WhatsApp 2GB seharga Rp 8.500 dan berlaku 30 hari. Yang paket 3 dan 7 hari juga ada.
  • Layanan jaringan mengikut Telkomsel. Ya, lumayanlah ya.
  • Isi pulsanya seperti isi pulsa Telkomsel pada umumnya.


Poin kurang dari By.U
  •  Nomor Telkomsel dianggap operator lain. Jadi, kalau mau telpon ke nomor Telkomsel, harus pakai pulsa dulu.


Sementara itu saja sih pengalaman saya selama sebulan ini.

Share juga pengalamanmu jika kamu adalah pengguna By.U.

Info lebih lanjut: https://www.byu.id/id

Selasa, 21 April 2020

Belajar via WhatsApp (bagian 1)


 Source
Sumber

Berapa banyak WhatsApp group yang anda ikuti? Puluhan? Ratusan? Mulai dari alumni sekolah hingga arisan paket buku atau smart hafidz. Dari obrolan politik, gosip staf milenial hingga aneka stiker lucu yang dikirim dengan wajah datar.

Sejak akhir Maret, saya memulai (lagi) grup Reading Habit. Ya, tujuannya sih simple aja. Mengajak orang-orang level pemula yang ingin belajar bahasa Inggris dengan membangun kebiasaan membaca. Fix. Ini grup tentang membaca ya.

Saya sebarlah tautan grup. Ratusan orang berminat. Saya kirim maksud, tujuan hingga peraturan grup. Tidak mengirim pesan selain tentang short story yang diunggah setiap hari. Tidak ada obrolan SARA. Untaian kata hikmah atau apalah. No more.

Sayangnya, riset tentang urutan Indonesia dalam literasi yang berada hampir posisi buncit, berbanding terbalik dengan urutan top 3 pengguna medsos di dunia. TOP 3 loh ini. Begitulah, hingga masih banyak yang mengirim selain konten belajar. You post other things, you are kicked out from the group.

Di grup Reading Habit ini, saya hanya meminta membaca cerita pendek. Membaca dan menemukan kata-kata sulit/baru (unfamiliar words). Kata-kata itu ditulis di buku catatan. DITULIS. BUKAN DIKETIK.

Hari-hari pertama masih ada yang rajin mengirim hasil pencarian kosakatanya. Tapi memasuki minggu kedua, hanya satu dua dari dua ratusan peserta. Ya, semoga yang lain tetap membaca dan menulis.

Hingga sampai pekan keempat, ada beberapa orang yang mengeluh kok grup ini sepi. Saya tanya balik dong. What do you expect from this group? Apa sudah melakukan anjuran grup untuk membaca dan menulis kosakata? Jawabnya, Insya Allah Pak. Terima kasih utk Bimbinganx selalu.

Ada juga yang berkomentar bahwa tulisan tangannya semakin bagus dan terasah. Mungkin dia latihan menulis indah. Ada yang merasa lebih lancar membaca. Ada yang bertambah pengetahuan kosakatanya. Juga ada yang membalasa bahwa grup ini bagus, semoga jadi ladang pahala. Subhanallah.

Begitulah. Setiap hari, ada saja yang keluar dari grup. Saya malah anjurkan jika memang terganggu dengan notifikasi.

Grup Reading ini tentu beda dengan grup Basic Writing. Nah, yang ini nanti menyusul ulasannya.

Sudah membaca apa hari ini?


Makassar, 21 April 2020

Kamis, 03 Oktober 2019

Cerita fiktif - Sebuah Perpisahan


Perempuan itu terdiam. Tatapannya lesu. Wajahnya kusut.

Tiga bulan setelah anak pertamanya lahir, surat gugatan cerai ia layangkan.

Sang suami, lelaki pemalas. Ia sesekali bekerja jika ada tawaran datang. Sesekali dan serabutan.

Pernah sesekali mencoba mendaftar menggunakan ijazah sekolahnya. Kantor demi kantor ia datangi.

Lembaran ijazah dan dokumen pelengkap tak mampu menolongnya.

Kendaraan pribadi tak punya. Tabungan pernikahan sudah habis sejak tahun lalu.

Perempuan itu menatap wajah bayi mungilnya. Dalam hati ia membatin membulatkan tekad. Sementara waktu, hidup tanpa suami, tanpa ayah dari anaknya.

Lagu Ippank “Tentang Cinta” sayup-sayup terdengar dari jendela kecil kamar kontrakannya. Perempuan itu, Lula nama penggilannya, tak ingin hanyut dalam derai air mata yang belum berhenti menetes.

Ia timang bayinya yang baru selesai ia mandi. Sang bayi menggeliat. Mulutnya menguap. Matanya kantuk. Untuk sesaat, ia belum tahu kemana ayahnya pergi. Atau mungkin ayahnya tak pernah ingin pergi. Entahlah.
***
Seorang lelaki sedang berkemas. Kapal yang akan ia tumpangi sudah berbunyi tiga kali. Tak lama lagi akan berangkat menuju pulau seberang.

Kerlap kerlip lampu malam kota ia pandangi.

Bayangan istri dan anaknya menggantung dalam pikirannya.

Kehendak manusia siapa tahu. Tapi ia tetap ingin menjaga kasih sayangnya. Untuk Lula, istrinya dan Laka, bayi kecilnya.

Jasadnya pergi. Tapi ruhnya masih tertambat pada dua buah hatinya.

Apa daya, ia harus menanggung semuanya. Beban hidupnya dan keluarga kecil yang ia tinggalkan.

***
Dari kejauhan, kapal laut mulai tampak mengecil. Para pengantar mulai membubarkan diri. 

Hanya beberapa saja yang masih ingin melihat kapal berlayar menjauh. Termasuk ibu muda itu.

Berdiri.

Tangan kanannya melambai, seolah melepas kepergian. 

Laka, sedang terlelap dalam dekapan ibunya di tangan kiri.

Rabu, 08 Mei 2019

Hari Ketiga

Gimana puasanya? Masih kuat?

Oke, kali ini mari kita membincangkan khusyuk.

Kalau merujuk ke KBBI, khusyuk bisa diartikan penuh penyerahan dan kebulatan hati; sungguh-sungguh; kerendahan hati.

Lantas, bagaimana sebenarnya khusyuk dalam konteks ibadah?

Sholat, misalnya. Dimensi khusyuk seseorang pasti berbeda-beda. Meski semua rukun dan syarat sah sholat terpenuhi, belum tentu seseorang sama dalam hal kekhusyukan, kan?

Salah seorang guru saya pernah mengajarkan, kiat yang paling sederhana salah satunya adalah mengetahui arti setiap bacaan sholat.

Contohnya, mengetahui makna dari surat Al-Fatihah.

Tahu arti dari bacaan saat duduk tahiyat dan seterusnya.

Dengan begitu, kata guru saya tadi, seseorang akan menyelami makna terdalam hingga menggapai level khusyuk yang hudhurul qalbi wa sukunul jawarih, hadirnya hati dan tenang tedunya inderawi.

Sumber disini
Kita memang tidak akan selamanya khusyuk. Tapi, upaya untuk itu perlu digalakkan.

Khusyuk juga bisa bermakna fokus pada satu. Orang bekerja yang tidak fokus, bisa jadi karena ia belum khusyuk dalam kerjaan.

Misalnya, para pemain Liverpool yang sangat khusyuk melakukan pressing kepada pemain Barcelona  di Liga Champion 2019 hingga skor akhir 4-0.

Jadi, sudah khusyukkah kita dalam setiap perbuatan?

Makassar, 08 Mei 2019

Selasa, 07 Mei 2019

Hari Kedua

Sebelum membaca, mari berdoa untuk tragedi kemanusiaan yang menimpa saudara kita di Palestina.

Ya, hari kedua enaknya bicara tentang apa ya?

Tadi siang sebenarnya sudah ada ide di kepala tentang imsak.

Dalam bulan puasa, jamak kita dengar kata tersebut. Entah jadwal imsak. Atau pertanyaan orang yang telat bangun sahur.
"Udah imsak belum?"

Imsak secara terminologi berarti menahan. Dalam konteks yang lebih luas, ia dimaknai sebagai tanda dimulainya waktu menahan diri dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa hingga tiba waktu berbuka.

Ulama juga banyak bersilang pendapat tentang waktu imsak. Tapi yang umum dipakai di Indonesia adalah perkiraan waktu kurang lebih 10 menit sebelum waktu sholat subuh. Yang penting bukan ulama-ulamaan yang sering menebar kebencian ya.

Ada juga orang yang memulai berpuasa sejak adzan subuh dikumandangkan. Salah ga? Ya, kalau mereka punya dalil kuat, why not?

Dalam hal menahan, kita bisa menjelajahi apa saja yang perlu kita tahan.

Menahan kebutuhan biologis seperti makan, minum dan berhubungan sex serta menebar hoax dan fitnah adalah hal yang biasa. Yang luar biasa adalah menyelami makna puasa itu sendiri.

Kita berlatih (atau sedang mencoba berlatih) menahan diri.

Dimensi orang berpuasa tentu berbeda. Motifnya pun beragam. Anda yang lebih tahu apa niat berpuasa.

Bagi saya pribadi, bulan Ramadan adalah sarana belajar. Menempa diri. Mengetahui jati diri.

Terlepas dari budaya konsumtif kita yang mendominasi, puasa akan tetap berlalu bagi setiap orang.

Kita berpuasa seharian, tapi balas dendam setelah maghrib.
Kita mengaji berlembar banyaknya, tapi menggunjing orang tak pernah lepas.
Kita belajar sepanjang waktu, tapi amalan ilmu itu tak pernah ada.

Paradoks memang. Seolah dua hal yang kontras.

Siang kelaparan, malam kelalapan.
Siang sholeh, malam salah.
Siang alim, malam lalim.

Sembari menahan diri dari flash sale e-commerce yang meracuni, mari kembali merenungi hakikat berpuasa yang tidak hanya berhenti pada kata menahan.

Semoga, kita yang menjadi controller akan nafsu kita.

Selamat menanti saat berbuka puasa.

Makassar, 07 Mei 2019.

Senin, 06 Mei 2019

Hari Pertama

Fiuhhh.

Setelah ratusan purnama, akhirnya saya membuka blog, lalu mulai menulis apa saja tentang Ramadhan.

Ya, puasa kali ini, hampir mirip dengan apa yang kamu rasakan beberapa tahun terakhir. 

Baiknya, dari mana kita memulai?

Hmm, menurut saya, kita mulai berdamai dengan diri. Mengenali apa yang sebenarnya bergejolak dalam diri? Hasrat seperti apa?

Jangan-jangan, keinginan untuk mencaci orang lain masih ada. Keinginan untuk menyerang pendukung capres lain. Keinginan untuk membeli saat gaji belum cair. Keinginan untuk balikan dengan mantan yang sudah mapan.

Semakin kita mengenali keinginan tersebut, semakin besar potensi untuk menahan godaan es buah dan pisang ijo tersebut. 
Pisang Ijo


Sehingga, jihad terbesar bukanlah yang berperang mengangkat senjata atau berkampenye meraup suara, melainkan bagaimana meredam gejolak nafsu buruk yang bisa saja melukai orang lain bahkan diri sendiri.

Di bulan yang penuh berkah ini, mari songsong dengan semangat memendam keinginan menyicipi takjil yang berada diluar jangkauan tangan. 

Ingat, pilihlah yang terdekat. Berhenti sebelum kenyang.

Makassar, 06 Mei 2019

Selasa, 20 Februari 2018

Sikap di Media Sosial

http://cdn2.tstatic.net/manado/foto/bank/images/argumen_20171210_125751.jpg
Sumber gambar disini



Bagaimana sikap kita menanggapi sebuah komentar di kanal sosial media?

Dunia, saat ini, orang-orang membaginya menjadi dua. Dunia nyata dimana kita hidup dan menjalani kehidupan kita. Dan dunia maya dimana kita bisa menjadi orang yang sungguh berbeda dengan dunia nyata. Meski tidak semua seperti demikian.

Hadirnya media sosial adalah sebuah produk kebudayaan. Teknologi berperan penting disini. Dan manusia mempunyai andil besar dalam menghasilkan sebuah karya (produk) dari kebudayaannya.
Dahulu, orang-orang terhubung dengan mailist. Munculnya Google di tahun 1998 merupakan loncatan besar bagi kita bagaimana berseluncur di dunia jaringan ini. Tak pelak, hubungan orang-orang semakin mudah dan seolah tak terbatasi lagi oleh ruang dan waktu. 

Bagaimana bersikap di media sosial?

Menurut seorang Cak Nun, internet itu melepaskan dan agama itu mengendalikan. Jika kita mencari garis lurusnya, hampir semua dari kita menumpahkan apa yang kita alami di media sosial. Orang memamerkan foto liburannya di Facebook. Ada yang mengunggah sajian di restoran ternama di Instagram. Tak lupa cuitan tentang macetnya jalanan di Twitter. Belum lagi status di WhatsApp. Dan masih banyak lagi. 

Nah, jika seseorang sudah mengeluarkan pendapatnya di media sosial, bagaimana kita menanggapinya?

Pertama. Langkah utama adalah melihat dari sisi terluar. Bahasa kerennya, secara komprehensif dan menyeluruh. Jangan sampai, kita mengukur seekor gajah hanya dengan meraba belalainya lalu berkesimpulan bahwa gajah adalah hewan yang panjang dan ramping. Ingat, melihat secara menyeluruh.

Kedua. Bersikap pro-aktif, bukan reaktif. Bersikap reaktif adalah dengan membalas perlakuan yang serupa persis setelah kita menerima perlakuan dari orang lain. Tak peduli dengan sebab musababnya. Inti bersikap reaktif ya balas dulu, benar salah belakangan. Berbeda dengan reaktif, proaktif ini mengedepankan logika dan sebab musabab. Mengapa terjadi demikian? Bagaimana bisa terjadi? Bagaimana jika saya membalasnya? Apa dampaknya? Dan seterusnya. Kalau menurut Mahatma Gandhi, jika mata dibalas mata, maka seluruh orang di dunia akan buta. 

Perlukah menanggapi komentar yang menyinggung di beranda media sosial?

Ya pastinya relatif. Bisa iya, bisa tidak. Tapi, pada dasarnya, jika seseorang diganggu lapisan yang beririsan dengan dirinya (keluarganya, teman dekatnya, klub main futsalnya, grup drama korea, penggemar K-Pop, Bollywood lover, hingga mungkin sekolah dan almamaternya), ada hal yang bisa membangkitkan ikatan emosional disitu. Tidak percaya? Coba sebut sekolah A jelek. Niscaya, akan ada alumni yang siap menyerang Anda. 

Apakah komentar tersebut berdampak panjang?

Bisa iya jika yang merasa tersinggung ingin membahasnya sepanjang waktu. Tapi untuk apa? Energi kita bisa jadi akan habis untuk masalah remeh itu. Lagi pula, dengan membalas komentar, belum tentu masalah tersebut selesai bukan? 

Lantas, harus bagaimana?

Kritik itu serupa vitamin. Iya bisa jadi terasa pahit tapi efeknya untuk menyembuhkan. Asalkan, dengan dosis dan takaran yang tempat. Serta diminum di waktu yang tepat. Kritik harusnya konstruktif. Apa itu? Ya kritik yang membangun. Jika kritikannya malah menjatuhkan? Itu namanya nyinyir aja. Tinggalkan saja.

Tapi ini bersinggungan dengan kebijakan dan system sebuah lembaga/organisasi?

Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus melihat ke dalam. Apalagi terkait kebijakan. Siapa yang mengambil kebijakan? Siapa pelaksananya? Bagaimana pelaksanaannya? Sudah tepat sasarankah tujuan kebijakannya? Dan masih banyak lagi.

Sebagai alumni, apa yang harus saya perbuat?

Tahan emosi di media sosial. Ini hanyalah ranah dimana orang-orang bertemu dan bertukar pendapat. Informasi saat ini laksana banjir bah yang airnya mengalir sangat deras. Dan kita membutuhkan sebuah bendungan untuk menampung semuanya agar tidak meluber dan mengakibatkan kerusakan. Apa bahan bendungannya? Buku dan membaca. Itu saja. 

Dengan membaca, cakrawala kita bisa terbuka. Wawasan terkembang lebar. Kita mampu menjangkau dunia dan tempat lain meski fisik kita belum pernah kesana. 

Dengan membaca, ada jeda bagi kita untuk menangkal laju informasi yang datang silih berganti. Kabar bohong. Berita palsu. Kejadian-kejadian yang belum tentu diketahui kebenarannya. 

Alangkah mubadzirnya kita jika hanya menghabiskan seluruh waktu dan tenaga untuk mengurusi “banjir” yang asalnya tidak kita ketahui. 

Mengutip seorang Eleanor Roosovelt, “Great minds discuss ideas, average minds discuss event, small minds discuss other people”.

Mari, menggunakan seluruh yang kita punya menjadi the great minds. 

Makassar, 19 Februari 2018