Perempuan itu terdiam. Tatapannya lesu. Wajahnya
kusut.
Tiga bulan setelah anak pertamanya lahir,
surat gugatan cerai ia layangkan.
Sang suami, lelaki pemalas. Ia sesekali
bekerja jika ada tawaran datang. Sesekali
dan serabutan.
Pernah sesekali mencoba
mendaftar menggunakan ijazah sekolahnya. Kantor demi kantor ia datangi.
Lembaran ijazah dan
dokumen pelengkap tak mampu menolongnya.
Kendaraan pribadi tak
punya. Tabungan pernikahan sudah habis sejak tahun lalu.
Perempuan itu menatap
wajah bayi mungilnya. Dalam hati ia membatin membulatkan tekad. Sementara waktu,
hidup tanpa suami, tanpa ayah dari anaknya.
Lagu Ippank “Tentang
Cinta” sayup-sayup terdengar dari jendela kecil kamar kontrakannya. Perempuan itu,
Lula nama penggilannya, tak ingin hanyut dalam derai air mata yang belum
berhenti menetes.
Ia timang bayinya yang
baru selesai ia mandi. Sang bayi menggeliat. Mulutnya menguap. Matanya kantuk. Untuk
sesaat, ia belum tahu kemana ayahnya pergi. Atau mungkin ayahnya tak pernah
ingin pergi. Entahlah.
***
Seorang lelaki sedang
berkemas. Kapal yang akan ia tumpangi sudah berbunyi tiga kali. Tak lama lagi
akan berangkat menuju pulau seberang.
Kerlap kerlip lampu malam
kota ia pandangi.
Bayangan istri dan
anaknya menggantung dalam pikirannya.
Kehendak manusia siapa
tahu. Tapi ia tetap ingin menjaga kasih sayangnya. Untuk Lula, istrinya dan
Laka, bayi kecilnya.
Jasadnya pergi. Tapi ruhnya
masih tertambat pada dua buah hatinya.
Apa daya, ia harus
menanggung semuanya. Beban hidupnya dan keluarga kecil yang ia tinggalkan.
***
Dari kejauhan, kapal laut
mulai tampak mengecil. Para pengantar mulai membubarkan diri.
Hanya beberapa
saja yang masih ingin melihat kapal berlayar menjauh. Termasuk ibu muda itu.
Berdiri.
Tangan kanannya melambai, seolah melepas kepergian.
Laka, sedang terlelap dalam
dekapan ibunya di tangan kiri.