Selasa, 12 November 2013

Menafsirkan nama? Mustahil

Pagi ini, setelah ritual shubuh hari telah ditunaikan, saya bergegas menuju batas kota untuk mengantar ayah mencari mobil angkutan untuk kembali ke kantor. Seperti biasa, pagi tetaplah pagi. Dingin dan menusuk. Dan mentari? Hangat menyentuh jiwa yang merasakan hadirnya. :D

Saya memulai pagi ini dengan pembicaraan singkat melalui telepon (durasi satu jam itu singkat kan?). 

Suara dari seberang menyahut dan saya tahu dia sedang berada di ATM (saya tahu karena diberitahu ya, bukan karena ilmu penerawangan, hahaha). Sahabat dekat saya ini sedang dalam perjalanan menuju kampus. Berangkat ke kampus jam 7 kurang 10 menit. Padahal kuliah jam 8 pagi. Perjalanan ke kampus dengan angkutan umum, katanya, normal ditempuh satu jam. Tapi berhubung macet melanda, saya sendiri tak tahu apakah separah macet di Makassar (macet di Jakarta sudah mainstream). Mulailah kami berbincang banyak hal.

Melalui telpon, dia berbicara tentang lembaga pendidikan yang sempat dia kunjungi hari Jum`at kemarin. Suasananya, orang-orangnya, juga para santrinya (santri, istilah murid di pesantren). Satu hal yang membuat saya bangga dan ini layak menjadi teladan untuk ditiru adalah sikap pedulinya tentang realita sosial. Tak bisa dipungkiri, seseorang yang sedang menempuh studi pascasarjana pastinya akan lebih banyak fokus pada hal akademik, diktat kuliah, tugas-tugas, dan saudara-saudaranya. Sangat jarang kita jumpai, orang-orang yang masih peduli akan pendidikan. Khususnya orang-orang yang disibukkan dengan kegiatan perkuliahan.

Tapi, inilah bedanya. Jiwanya telah menemukan tempat berlabuh yang dulu sempat hilang. Ruhnya seperti mendapati kembali jasad untuk segera dirasuki. Ya, kerinduannya akan suasana belajar mengajar (setahu saya, dulu dia mendirikan bimbingan belajar meski telah bekerja di salah satu instansi BUMD). Aktifitas belajar mengajar baginya seperti panggilan jiwa. Tak ada keterpaksaan akan hal itu. Juga bukanlah materi yang ingin ia kejar. Murni kepedulian akan pendidikan yang begitu tinggi. Sehingga, ia sering mengutip kalimat "lebih baik menyalakan lilin, daripada mengutuk kegelapan", kira-kira seperti itu. Baginya, tindakan yang nyata ia terapkan dengan mengajar, sekaligus belajar, adalah lebih baik daripada menghujat sistem pendidikan yang sudah semakin runyam. Wow, super sekali ya?

Hingga dia bercerita tentang salah seorang santri yang ternyata hobinya menulis. Maklum, sahabat saya ini sedang rajin-rajinnya (belajar) menulis. Meski hanya terbatas di blog, setidaknya dia menyalurkan jiwa sastranya (padahal jurusan statistika, hehe). Dia juga sedang menggagas kegiatan bakti sosial. Nah, langsung saja saya tawarkan untuk membuat sebuah taman baca. Ya, maklumlah, sewaktu KKN (kuliah kerja nyata) dulu, salah satu program saya adalah pendirian taman baca. Dan sahabat saya sangat antusias. Bagi kami, saya dan dia, buku adalah salah satu jendela pengetahuan. :D

Dan entah mengapa, pembicaraan berlanjut kepada pembahasan nama. Tiba-tiba saja kami membahas arti sebuah nama. Secara bahasa, arti namanya adalah Cahaya Bulan Sabit. Saya pun mencoba mendefinisikan arti namanya. Dengan pengetahuan yang sangat terbatas, saya mencoba mengurai arti kata Cahaya. Ya, cahaya yang kita ketahui adalah sesuatu yang bersinar. Dan itu adalah wujud dari sebuah benda. Lalu, saya mencoba memaknai kata cahaya yang jauh lebih tinggi. Saya ingin menyebutnya sebagai hal yang tak bisa disentuh, tapi dapat dirasakan (ini bukan tentang 'dunia lain' lho ya). Sebelum memberi sesuatu kepada orang lain, sejatinya kan kita sudah mempunya lebih dahulu. Nah, sama seperti cahaya. Memberikan sinar kepada seluruh semesta, tanpa mengurangi sinar dalam dirinya. Dan kesimpulan saya, sinar itu adalah Ilahi. 

Lalu, saya terus mencoba mendefinisikan arti Bulan Sabit. Secara wujud, bulan sabit adalah benda yang nampak di langit. Tapi, tahukah kita bahwa di dalam kitab suci yang saya yakini, Al-Quran, kata "hilal" itu menandai peristiwa besar dan penting. Contoh, berpuasa, Idul Fitri, hingga melaksanan ibadah rukun haji. Terdapat kata "hilal" di dalamnya. Sehingga, saya berkesimpulan sederhana bahwa arti hilal adalah pertanda. Bahwa suatu peristiwa/kejadian yang besar dan penting akan terjadi. Ini adalah pendapat saya pribadi.

Akhirnya, saya mencoba menggabungkan makna 'cahaya' dan 'bulan sabit'. Menarik garis lurus dan benang merah diatas, saya ingin menjelaskan sebagai berikut:
  1. Cahaya bulan sabit adalah kesempurnaan akan sebuah hakikat Keilahian. Ia tak bisa lepas dari Dzat yang Maha Agung.
  2. Cahaya bulan sabit adalah sebuah sinyal, pertanda, simbol peristiwa dan kejadian yang akan datang di hadapan kita. Dan lagi-lagi, cahaya Ilahi-lah yang merupakan simbol tertinggi. 
  3. Cahaya bulan sabit adalah penyatuan wujud yang terlihat maupun tak terlihat. Dan darinya itu, segala bentuk yang ada di alam semesta ini, melebur menjadi satu Dzat. 

Wah, panjang juga ya? hehe. Semoga, apa yang saya tulis ini bermanfaat bagi kita semua.
Dan akhirnya, sampailah kita pada sebuah pertanyaan, mampukah kita menafsirkan sebuah nama?

#cahayabulansabit


Tidak ada komentar: