Kamis, 03 Oktober 2019

Cerita fiktif - Sebuah Perpisahan


Perempuan itu terdiam. Tatapannya lesu. Wajahnya kusut.

Tiga bulan setelah anak pertamanya lahir, surat gugatan cerai ia layangkan.

Sang suami, lelaki pemalas. Ia sesekali bekerja jika ada tawaran datang. Sesekali dan serabutan.

Pernah sesekali mencoba mendaftar menggunakan ijazah sekolahnya. Kantor demi kantor ia datangi.

Lembaran ijazah dan dokumen pelengkap tak mampu menolongnya.

Kendaraan pribadi tak punya. Tabungan pernikahan sudah habis sejak tahun lalu.

Perempuan itu menatap wajah bayi mungilnya. Dalam hati ia membatin membulatkan tekad. Sementara waktu, hidup tanpa suami, tanpa ayah dari anaknya.

Lagu Ippank “Tentang Cinta” sayup-sayup terdengar dari jendela kecil kamar kontrakannya. Perempuan itu, Lula nama penggilannya, tak ingin hanyut dalam derai air mata yang belum berhenti menetes.

Ia timang bayinya yang baru selesai ia mandi. Sang bayi menggeliat. Mulutnya menguap. Matanya kantuk. Untuk sesaat, ia belum tahu kemana ayahnya pergi. Atau mungkin ayahnya tak pernah ingin pergi. Entahlah.
***
Seorang lelaki sedang berkemas. Kapal yang akan ia tumpangi sudah berbunyi tiga kali. Tak lama lagi akan berangkat menuju pulau seberang.

Kerlap kerlip lampu malam kota ia pandangi.

Bayangan istri dan anaknya menggantung dalam pikirannya.

Kehendak manusia siapa tahu. Tapi ia tetap ingin menjaga kasih sayangnya. Untuk Lula, istrinya dan Laka, bayi kecilnya.

Jasadnya pergi. Tapi ruhnya masih tertambat pada dua buah hatinya.

Apa daya, ia harus menanggung semuanya. Beban hidupnya dan keluarga kecil yang ia tinggalkan.

***
Dari kejauhan, kapal laut mulai tampak mengecil. Para pengantar mulai membubarkan diri. 

Hanya beberapa saja yang masih ingin melihat kapal berlayar menjauh. Termasuk ibu muda itu.

Berdiri.

Tangan kanannya melambai, seolah melepas kepergian. 

Laka, sedang terlelap dalam dekapan ibunya di tangan kiri.