Minggu, 19 Oktober 2014

Akhir pekan

sumber: dari sini
Karena keterbatasan pengetahuan saya tentang sejarah asal-usul akhir pekan, saya mencoba mencari di Google dengan kata "history of weekend". Kok sampai segitunya mencari di internet? Ya, setidaknya, saya harus tahu, apakah istilah "ber-akhir pekan" itu, betul-betul menggambarkan kondisi saat ini. Silahkan buka hasil pencariannya disini

Ngomong-ngomong tentang akhir pekan, saya ingin sedikit bercerita kejadian-kejadian yang terjadi selama seminggu ini. 

Akhir pekan kemarin, saya dan teman-teman dari Forum Kampung Bahasa Sulawesi (FKBS), mengisi kelas ahad untuk anak-anak yang tergabung di Komunitas Pecinta Anak Jalanan (KPAJ). Kami, bersama anak-anak usia sekolah, memulai belajar dari pagi. Tampak para Tutor, sebutan untuk instruktur/pengajar Bahasa Inggris, sedang hanyut dalam pembelajaran. Ada yang bercerita, ada yang menggambar, ada pula yang serius mengucapkan nama-nama hari dan bulan dalam Bahasa Inggris.

Anak-anak ini, mereka bersasal dari keluarga yang kurang mampu dan belum seberuntung kita. Pengurus KPAJ, semoga mereka tetap diberkahi karena mau mengurus mereka ini, memberitahu bahwa anak-anak ini perlu bimbingan khusus. Belum semua mendapat beasiswa yang disediakan oleh pengurus. Salah satu syarat yang diajukan kepada orang tua adalah merelakan anaknya untuk tidak lagi turun ke jalan. Karena, mereka haruslah belajar dan bersekolah. Jika syarat ini diterima, anak tersebut berhak mendapat beasiswa. 

Dan kejadian lainnya adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh mahasiswa ekonomi syariah di Auditorium UIN Alauddin Makassar dan bernama "Economic Festival 2014". Ada seminar, diskusi buku tentang Pramoedya, serta dialog interaktif tentang MP3EI. Tak lupa, beberapa komunitas turut serta dengan membuka lapak di bagian belakang. Ada dari Rumah Baca Philosophia, FKBS, Mahasiswa Pancasila (MAPAN), komunitas Cara Baca, komunitas Sketch Makassar, juga turut hadir Kampoeng Merdeka, yang berjargon "Demonstrasi gaya baru" dengan koleksi kaos-kaosnya.

Oh ya, yang tak kalah heboh adalah pernikahan minggu ini. Entah mengapa, saya mencium aroma tak sedap saat salah satu siaran televisi menayangkan secara langsung peristiwa yang nggak penting tentang pernikahan pasangan selebriti. Jika memang ingin disaksikan dan didoakan oleh orang banyak, ya nggak gini juga kali bro. Semoga saya tidak terlilit sikap iri karena belum nikah. Emang, apa sih dampaknya? Saya melihat sebagai dampak sosial yang nyata.

Kok bisa? Ya iyalah. Bayangin aja kalau yang nonton adalah barisan para ibu yang serius menatap layar seharian. Bisa jadi, ibu-ibu ini, yang masih memiliki anak gadis, mengambil standar pernikahan seperti selebiriti kita. Kan berabe. Atau, para perempuan-perempuan dewasa yang ingin berumah tangga dan memimpikan dilamar dengan cara yang wah dan mahal. Ah, situ aja kali yang nggak mampu secara ekonomi. *ditabok sendal

Eh, sampai lupa, saya sendiri, dalam menikmati kesendirian dan membunuhnya dengan kegiatan yang produktif bilang aja kalau jomblo, terkadang mencari suasana yang lain dari biasanya. Mengerjakan hal-hal yang monoton dan terus terulang adalah menjemukan. Jika dalam seminggu selalu mengendarai motor, saya mecoba untuk naik kendaraan umum. Jika dalam seminggu saya tak bisa lepas dari telpon seluler, ada satu hari dimana saya tak memperhatikannya. ciyeeee. Dengan adanya variasi kegiatan dalam rutinitas kita, dijamin deh, kagak bakalan suntuk. Trust me. 

Dan akhir pekan ini? Cukuplah melakukan sambungan telepon lalu berdiskusi banyak hal tentang pendidikan. Carut-marutnya, penyelewangan dananya, dampaknya, dan bagaimana memperbaikinya.

Bagaimana akhir pekanmu? 

Sabtu, 11 Oktober 2014

Tamalanrea sore ini

Setelah menyegarkan diri dengan guyuran air di bak, saya bergegas menghidupkan mesin motor yang seharian terparkir di samping rumah. Tak lupa, jaket merah dan helm dengan warna yang sama. (Ciyyee, mahasiswa almamater merah :p )

Saya mulai menyusuri jalan-jalan kecil yang ramai dilalui oleh kendaraan roda dua. Ada jalan yang beraspal, tak beraspal, ada pula yang berpaving. Ada yang tinggi, juga ada yang rendah. Beruntung, peredam getar motor saya masih layak fungsi.

Deretan toko dan warung kecil saling berhadapan di sepanjang jalan yang tembus ke kampus. Warung makan, toko kelontong, jasa pengetikan dan print, tukang gunting rambut, dan tak ketinggalan penjahit yang biasa memodifikasi pakaian mahasiswa (motor kali dimodifikasi). Hahaha
Setidaknya, ada dua portal yang menutup akses dari workshop yang berbatasan langsung dengan kampus. Kami, mahasiswa kampus merah menyebut area workshop sebagai pusat kehidupan. Ya, hal-hal yang saya sebutkan diatas adalah bukti eksistensinya.

Jalan aspal kampus cukup mulus. Hanya beberapa saja yang berlubang. Dan akses menuju rektorat tentu harus bagus. Nyaris tak ada cacat. Saya melanjutkan perjalanan melalui pintu dua (karena kami menyebut gerbang utama sebagai pintu satu).

Di pintu dua, terdapat dua rumah sakit besar. Makanya, jangan heran bila melihat deretan mobil terparkir hingga badan jalan. Saya tak tahu, apakah pemilik mobil tersebut mengambil hak pengguna jalan yang lain? Kemacetan sering tak terelakkan. Jika pengendara motor dan mobil mengeluh kemacetan, lalu, apa mereka sadar akan ulah memarkir di bahu jalan. Entahlah.

Masuk di jalan poros, jalanan sore itu cukup ramai. Saya melihat seorang personil polisi menjaga tepat di deretan warung di ujung pintu dua. Saya hanya memacu motor dengan kecepatan 20km/jam. Cukup lambat untuk kategori pengendara disini. Saya mencoba menikmati pemandangan kota yang digadang-gadang menjadi "Kota Dunia". Huh.

Sepuluh menit berkendara, saya tiba di kios kecil di samping kantor imigrasi. Setelah membeli dua buah kartu untuk dipakai internet, saya langsung pulang.

Dalam perjalanan kembali, saya melihat beberapa anggota TNI, sepertinya mereka anggota baru, yang sedang diperiksa di pos masuk. Ada pula seorang yang bersembunyi di balik pohon sambil melepas jaket yang ia kenakan. Sedangkan teman-temannya sudah berbaris rapi di pos penjaga. Saya langsung  teringat beberapa tahun silam saat masih "mondok" di pesantren. Para santri, yang baru saja tiba dari luar pesantren, harus melapor di bagian keamanan. Dan ini hukumnya wajib. Karena kita mempunyai surat jalan dan itu harus dikembalikan di kantor bagian keamanan. (Yang terlambat, jangan harap anda akan bebas dari hukuman). Haha

Sebelum gerbang menuju BTP, lampu lalu lintas menyala merah. Sore itu, kendaraan menuju kota tak seramai biasanya. Hanya beberapa deret mobil kebelakang. Dan lampu pun berubah hijau. Saya melanjutkan perjalanan dengan pelan.

Saya berbelok di depan asrama tentara di yang berdekatan dengan Pesantren IMMIM, salah satu pesantren terkenal di Sulawesi Selatan dan Indonesia. Lalu, berbelok di pintu dua.

Saya tak melintas di jalur yang menuju fakultas sastra, tapi memilih untuk berkeliling lingkungan kampus yang sore itu dilalui oleh orang-orang yang lari sore. Ada yang sendiri, berdua, maupun bergerombol. Saya melintasi fakultas hukum, fakultas ekonomi, baruga kampus, fakultas kedokteran dan fakultas kesehatan masyarakat dan gedung pascasarjana.

Di tikungan FKM, di sebelah kanan, terhampar tanaman buah naga. Pastinya milik fakultas pertanian. Lalu ada politeknik di sebelah kanan. Berhadapan dengan fakuktas ilmu perikanan dan kelautan. Lalu, fakultas MIPA dan fakultas teknik.

Saya berbelok ke kanan, melintasi portal yang tertutup di sebelah kiri. Persis di samping warung lalapan yang harganya delapan ribuan rupiah.

Lalu, apa ceritamu sore ini?

Rabu, 08 Oktober 2014

Batal Menikah

Sumber gambar dari sini
Deva mengacak-acak rambutnya. Ia tampak gusar. Jadwal kegiatannya yang padat harus ia rombak. Di depan layar komputer jinjingnya, tertera tiket kereta untuk keberangkatan besok. Tak lama, pesan singkat masuk di ponselnya. 

"Sudah kukirim tiket di emailmu. Kutunggu kau di stasiun Tugu esok siang. Kal."

Deva sedang mengikuti pelatihan dari kantornya. Dan memang, ini adalah hari terakhir. Tapi, ia harus berangkat kembali ke Balikpapan. Kembali pulang, istirahat sehari, lalu bekerja sedia kala. 

Kal, seorang lelaki dengan perawakan tambun, dan pemilik rumah makan di beberapa kota, harus melangsungkan pernikahan dua minggu lagi.

"Kal, sesaat lagi aku tiba di stasiun Tugu. Ada apa sebenarnya?" Tulis Deva dalam pesan singkatnya.

"Nanti, kita mengobrol di bandara saja."

Tak lama, Deva turun dari kereta beserta ransel abu-abunya. Di tangan kirinya, ia menenteng tas kecil berwarna kuning cerah berisikan roti dan sebotol air mineral. Di pintu keluar, Kal telah menunggu Deva. 

"Aku memarkir mobilku disana. Kita ke Bandara naikTrans Jogja saja. Tak masalah kan?"

"Oke" jawab Deva. 

Kal berjalan beriringan dengan perempuan yang wajahnya bulat dan bermata biru itu. Dalam benaknya, benang kusut seperti menjalar memenuhi ruang-ruang syarafnya. Sedang Deva, ia tak berkata sesuatu pun. Dalam balutan pakaian hitam dan putih, layaknya peserta pelatihan, ia lebih banyak menunduk. 

Dalam perjalanan menuju bandara, Kal dan Deva berdiri dekat pintu bis. Seluruh bangku penuh dan sebagian orang telah berdiri di bagian belakang. Kal sibuk melihat kiri kanan jalan. Di luar, titik-titik air jatuh di atas langit Yogyakarta. 

Siang menjelang sore, Kal mampir di salah satu kafe. Memesan dua porsi makan dan dua botol air mineral.
"Tak usah kau pesan dua botol air, aku membawa minum sendiri."
"Kau tak berubah. Selalu setia dengan botol ungumu itu. Masih saja kau simpan."
"Katakan padaku, mengapa aku harus bersusah payah menghampirimu? Dan tiket dari kantorku? Terbuang percuma."
"Aku batal menikah." Jawab Kal singkat.

Deva bak disambar taksi (sebutan untuk angkutan umum di Balikpapan) saat itu. Fikirnya, Kal telah mempersiapkan segala sesuatu. Undangan sebanyak 2.000 buah telah disebar. Catering untuk konsumsi telah dipesan. Gedung telah siap. Dan itu batal hanya karena calon istrinya kedapatan selingkuh dengan pacar terdahulunya. 

"Dev, aku telah berkunjung ke rumahmu. Kusampaikan niatku pada ayah dan ibumu. Dan sekarang, aku menunggu jawaban darimu."
"Kapan kamu ke rumah? Mengapa tak memberitahuku sebelumnya?" Selidik Deva.
"Aku tak ingin mengganggu pelatihanmu di Surabaya."
"Mengapa harus aku?"
"Tak tahu. Perempuan yang hendak kunikahi, ternyata hanya melirik hartaku saja. Sedang dirimu, kita telah saling mengenal sejak kuliah di Jakarta."

Jam untuk check in maskapai plat merah itu tersisa beberapa menit. Nama penumpang Deva Sasrawati disebut berkali-kali melalui pengeras suara. Waktu mereka tak banyak. Kal kembali berkata-kata. "Tak usah kau jawab sekarang. Cukuplah kau kirim aku pesan singkat."

Deva beranjak dari tempatnya duduk. Sambil mengucap salam pada Kal, ia berjalan masuk menuju konter maskapai. Ia mendapati kursinya bernomor 1 C. Pesawat pun lepas landas. 

Tiba di rumah, Deva mencari ibunya. Mengecup kening yang mulai tampak kerutan, lalu menyalami tangannya. Sebelum Deva sempat bertanya, ibunya berbicara pelan.

"Kal datang beberapa hari lalu. Ibu dan ayahmu yang langsung menerimanya. Ayahmu, hanya menanyakan dua hal pada dirinya. Dan saat itu pula, ayahmu dan ibu setuju jika ia menjadi pendampingmu."

"Apa itu bu?"

"Ayahmu bertanya dimana Kal shalat subuh hari ini. Kal menjawab di masjid, seperti biasa. Lalu, saat ibu menyodorkan minuman, ia menolak. Ayahmu kembali bertanya, puasa apa yang sedang ia kerjakan. Kal menjawab, ia sedang berpuasa tiga hari berturut-turut di tiap bulan hijriyah. Ayahmu lalu pamit sebentar kebelakang dan mengajak ibu. Tanpa berkata sepatah kata, ayah dan ibu mengangguk setuju."

"Hanya itu yang ditanyakan ayah? Hanya dimana ia shalat subuh hari ini dan ia sedang berpuasa?"

"Nak, kami yakin, ia lelaki yang bisa membawamu menuju kebaikan. Mungkin ini terdengar aneh. Apalagi, di zaman semua orang menanyakan pekerjaan dan penghasilan. Tapi, kami, sebagai orang tuamu, yakin bahwa lelaki yang datang saat itu adalah orang yang tepat. Jika memang kebetulan ia shalat subuh di masjid, ia tak mungkin kebetulan berpuasa di tiga hari di pertengahan bulan hijriyah. Hanya orang-orang tertentu yang peduli akan perhitungan kalender islamlah yang selalu melihat tanggal hijriyah. Sekarang, semua telah kau dengar nak, pilihan berada di tanganmu."

"Tapi bu, ia baru saja memutuskan calon istrinya yang ia lamar sebulan lalu."

"Ibu percaya, jiwa akan selalu mencari sesama jiwanya."

Deva terdiam. Saat itu juga, ia raih ponselnya ingin mengirim pesan pada Kal. Ia cari namanya dalam daftar kontaknya. Tak ada. Ia melihat pesan terakhir yang masuk. Disitu, tertulis nama kontak "suami idamanku".