Minggu, 31 Agustus 2014

Florence, Narsisme, dan Media Sosial

Mengikuti pemberitaan di media sosial, saya cukup tertarik untuk menyikapi hal yang cukup menyita perhatian di Jogja sana. Khususnya perkara yang katanya "merendahkan" warga yang berdomisili di Jogja.

Sebelum membahas ini, saya ingin membawa ingatan kita pada kasus yang menimpa remaja putri dan seorang ibu hamil di KRL. Ingat kan? Dengan nada-nada miris sekaligus umpatan-umpatan sinis tentunya. Ada yang mendukung, tapi tak sedikit yang balik menyerang.

Lalu, kasus ibunda Negara yang cukup reaktif di akun jejaring sosialnya. Tak terima dikritik (mungkin lebih tepatnya disinggung secara tak langsung) di dunia maya, spontan beliau malah berkoar-koar tanpa nalar barangkali.

Jika sudah ingat dua contoh kasus di atas, mari kita bandingkan dengan kasus yang terjadi pada saudari kita, Florence. Apa yang terjadi padanya, baik reaksinya, tingkah lakunya, hingga kondisi psikologisnya saat ini, bisa saya katakan, beda tipislah dengan kasus-kasus sebelumnya. Kita bisa memburu hal-hal ini dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apa yang menyebabkan kita bisa bereaksi sedemikian rupa. Atau, bagaimana pengaruh media sosial pada kondisi kejiwaan masyarakat kita saat ini.

Ngomong-ngomong tentang narsisme, atau yang lebih kita kenal dengan narsis (pemujaan dan sikap bangga yang berlebihan terhadap diri sendiri) muncul sudah lama sekali. Nenek moyang kita bisa jadi belum lahir. Ya, kira-kira ia ada di zaman Yunani kuno. Ini menurut para sejarawan.  Lalu, kita dihujani oleh teknologi yang sangat canggih bernama internet. Dan bermuncullah berbagai macam cabang-cabang yang menyuburkan proses atau kejadian narsisme tadi. Atau yang lagi tren, katanya, adalah selfie.

Nah, ternyata, para ilmuan dan peneliti yang sudah melakukan penelitian mendalam tentang narsisme dan kaitannya dengan media sosial menemukan hasil yang mengejutkan (entah ini mengejutkan bagi beberapa kalangan atau memang ada yang tak terkejut dengan ini karena sudah memprediksi jauh-jauh hari). Sehingga, kesimpulan sementara saya (kayak orang serius aja nih, hahaha), kasus yang menimpa remaja putri dan ibu hamil, ibu negara, hingga pada Florenca adalah buntut dari narsisme dan media sosial. Masih belum percaya? Berikut saya lampirkan fakta-faktanya. (saya edit untuk memperjelas tulisan yang ada di gambar)


Gambar asli diambil dari sini

Sebelum menghakimi Florence dan orang-orang terdahulu, saya mengajak diri saya lebih dulu dan anda sekalian untuk mencoba melihat, apakah ada gejala-gelaja narsisme dan efek media sosial yang terjadi pada diri kita. Jika anda merasa menemukan satu atau dua dari enam contoh diatas, atau bahkan enam contoh diatas ada pada diri kita, patutulah kita risau. Berarti, saya atau anda, termasuk dalam kategori "Social Media Anxiety Disorder". Kalau saya terjemahkan bebas menjadi "Kegelisahan yang disebabkan oleh Media Sosial".

Gambar diambil dari sini


Tapi tenang, kerisauan diatas bukan tanpa penawar alias obat. Ada kok cara-cara yang ampuh. Asalkan anda mau menjalani proses terapinya. Agak sulit memang, tapi bukan berarti tak bisa.

Berikut langkah-langkah agar kita terbebas dari pengaruh negatif Media Sosial:

1. Gunakan dengan cermat perangkat/ gadget anda. Upayakan, anda memakainya saat anda memang membutuhkannya.

2. Berteman dengan banyak orang di dunia maya memang mengasyikkan. Tapi ingat, berinteraksi dengan satu orang di dunia nyata itu lebih indah. Pernah mengalami situasi dimana anda berkumpul dan semua orang sibuk dengan layar masing-masing? Menjengkelkan bukan?

3. Tetapkan jadwal dimana anda memang menjadikan Media Sosial sebagai hiburan. Bukan sebagai dunia nyata anda. Sebagai contoh: anda dapat menetapkan satu hari dalam sebulan tanpa perangkat canggih anda.

4. Eksistensi atau ingin disebut eksis bukan diukur dari keseringan anda di dunia maya atau media sosial. Tapi, jika anda ingin lebih eksis lagi, cobalah berinteraksi antar sesama manusia. Atau lebih indah jika anda mencoba menuliskannya. Entah itu di blog, diary, buku tulis, atau apapun medianya. Dan ingat, anda menulis bukan karena ingin eksis, tapi karena anda ingin sharing atau berbagi dengan sesama.

5. Semakin jarang anda berinteraksi di sosial media, semakin sedikit anggaran yang anda keluarkan untuk itu. Atau lebih tepatnya, saya sebut lebih berhemat. Mungkin ini terdengar remeh, tapi bisa jadi sangat penting bagi sebagian orang. Berbicara langsung face to face tak membutuhan biaya ataupun koneksi internet kan? Beda halnya jika anda harus mengirim pesan via Facebook, Twitter, Line, WhatsApp, Path, dan semacamnya.

Wah, panjang juga ya. hahaha. Semoga bermanfaat. Jika anda senang dengan tulisan ini, silahkan dibagi ke teman-teman anda, saudara, kerabat, dan orang-orang yang anda sayangi.

Selamat berinteraksi. Semoga kita menjadi manusia seutuhnya. 

Tidak ada komentar: