Sore tadi, saat mengajar di kelas yang harusnya pertemuan terakhir, menjadi ajang diskusi dan berbagi cerita. Ya, ini hanya sepenggal cerita dari salah seorang pembelajar. Sebut namanya Cahaya (nama-nama bunga mungkin udah terlalu mainstream).
Cahaya, 20 tahun, seorang mahasiswi di salah satu kampus ternama di Makassar. Dia tergolong student yang cukup cerdas. Penuh rasa ingin tahu. Saking penasarannya, potongan gambar berisi berita berbahasa Inggris yang saya kirimkan di grup E-Learning membuatnya geram, marah. Ada apa gerangan? Ternyata, ia tak terlalu paham (kan kurang sopan bila ditukis gagal paham :p).
Cerita berlanjut. Konon (kok jadi mirip legenda atau cerita zaman majapahit ya?), ia pernah bercakap dengan kakaknya, seorang lulusan akuntansi di politeknik di Makassar. Cahaya melihat tumpukan sertifikat (bukan sertifikat tanah lho ya), dan itu semua adalah lembaran kertas hasil jerih payah kursus Bahasa Inggris. Dengan skill yang mumpuni, sang kakak berkata pada Cahaya, "bukannya mau berbesar hati, tapi, jika kita punya kemampuan, kita pasti akan diterima jika memang kita layak untuk itu", kira-kira begitulah.
Sang kakak kembali memberi saran. "Kamu kan sudah dewasa, sudahlah, saatnya kamu lihat lagi siapa yang layak dijadikan sahabat. Orang yang datang pas ada senangnya, sukanya, maunya, itu mah banyak. Tanpa dicari juga datang sendiri. Tapi, berteman dengan seseorang yang punya tujuan jelas itu perlu, itu yang utama".
Dari balik kacamatanya, saya melihat ada genangan air yang menggantung disana. Nada suaranya mulai berubah. Sesekali ia menengadah keatas, mungkin menahan agar tak ada air yang mengalir di pipinya yang agak tembem. Ia mulai angkat suara.
"That's why sir, I just realised that what I have done are useless". Dalam hati, saya sih berpikir keras, tak ada perbuatan yang sia-sia, karena semua punya makna dan pembelajaran bagi pelaku. "Jadi, saya coba untuk memaknai setiap tarikan nafas saya untuk melakukan hal baik dan benar. Saya cari beberapa teman yang memang mau ikut belajar bahasa Inggris, biar ada yang temani di kelas sir".
"Setelah ayah meninggal tahun lalu, kakak sayalah yang menggantikan sosoknya. Ia memberi kami semangat, motivasi, sampai membantu ibu kami berjualan di toko. Sungguh, saya sangat bangga padanya."
Jujur saja, mengikuti alur cerita Cahaya ini, memberi kesan tersendiri bagi saya. Ya, kukatakan padanya, ada saat dimana seseorang mengalami turning point atau titik balik. Saat orang-orang masih terlena dengan hidup yang sangat singkat, ada pula mereka yang menetapkan untuk bangkit atau kembali pada semangat untuk terus menjadi baik. Tak salah bila kita berusaha bahkan bersusah payah. Bukankah Tuhan tak melihat hasil, melainkan proses.
Ya, mengajar bukan hanya memberi ilmu di kelas-kelas, tapi, juga mendidik diri sendiri untuk mampu berbagi dan memahami bahwa masih banyak orang-orang yang kurang beruntung, tapi mempunya semangat yang menggunung.
Selamat Cahaya. Kau tak hanya menyinari dirimu, semoga kau mampu menerangi semesta.