Rabu, 10 Desember 2014

Pendidikan kurikulum dan kurikulum pendidikan

Pertama-tama, saya tak ingin menyangkut-pautkan judul tulisan ini dengan hingar-bingar tentang perdebatan kurikulum hingga mengarah pada sara. Saya hanya ingin membagi pengalaman dan pandangan saya tentang pendidikan dan kurikulum yang pernah saya rasakan.

Bagi yang lahir tahun 90-an, saat masih di sekolah dasar, pastilah merasakan namanya catur wulan (biasa disingkat CAWU). Catur yang berarti empat dan wulan artinya bulan. Ya, selama setahun, saya merasakan tiga kali ujian (karena di akhir cawu diadakan ujian). Mengenang masa-masa itu, saya pasti teringat penjual es teler di luar pagar yang masih seharga 1.000 rupiah (saya dan teman-teman biasa hanya pesan setengah gelas seharga 500). Atau, ongkos pulang 200 rupiah dibelanjakan air tahu seratus rupiah dan pisang molen sisanya. Ah, sudahlah. 

Berlanjut ke tingkat berikutnya, saya mengenyam pendidikan di salah satu lembaga yang disebut dengan istilah pesantren di Ponorogo, Jawa Timur. Dan hanya mampu pulang sekali dalam setahun (liburan pertengahan tahun hanya 10 hari dan belum tentu ada jadwal kapal di tanggal perpulangan ataupun saat hendak kembali). 

Loncat ke kelas tiga (setara kelas 3 SMP/sederajat), kita sudah diberi salah satu pelajaran yang bukunya bertuliskan arab dan tak berharakat (orang-orang biasa menyebutnya arab gundul), mata pelajaran Tarbiyah (pendidikan). Saya masih ingat betul, saat pertama belajar seluk beluk pendidikan. Itu terjadi di tahun 2004 silam. Saya masih mengingat perkataan para ahli akan definisi pendidikan. Herbert Spencer, Aristoteles, Plato, dan beberapa ahli yang nama-namanya bertuliskan arab. Dan bahasa pengantarnya, pastilah berbahasa Arab.

Di kelas tiga, kita disuguhi berbagai macam pandangan pendidikan. Salah satu poin yang saya dapat ialah, pendidikan itu dipengaruhi tiga hal/ tiga faktor pendidikan. Rumah, sekolah, dan lingkungan. Dan biasanya, guru kami menambahkan unsur masjid. Bagi lembaga pendidikan tempat saya belajar, definisi pendidikan adalah apa yang dilihat, didengar dan dirasakan para santri. 

Itu di kelas tiga. Mata pelajaran tarbiyah/pendidikan ini diajarkan hingga kelas enam (setingkat kelas 3 SMA/sederajat). Empat tahun lamanya kita ditempa dengan nilai-nilai dan ajaran tentang pendidikan. Belum lagi ada tambahan mata pelajaran Psikologi Umum di kelas 5 (setingkat kelas 2 SMA/sederajat) dan Psikologi Pendidikan di kelas 6.

Di usia yang masih dianggap remaja, kita sudah harus paham tentang pendidikan sejak dini. Bahkan, di salah satu buku, kita diajarkan bagaimana menyikapi bayi yang lahir. Karena, dalam setiap fase, bayi merespon dengan keadaan yang berbeda. Atau, hal-hal apa yang perlu diberikan pada anak yang berada dalam masa puber. 

Menilik kehidupan remaja yang bersekolah (karena faktanya masih banyak yang belum mampu bersekolah), mereka semua mempunyai potensi. Sayangnya, kurikulum yang berada di sekolah pada umumnya, hanya bertumpu pada penguasaan mata pelajaran saja. Dan kurang mengeksplorasi potensi peserta didik. Atau, jangan-jangan (ini praduga saya saja), tidak dimasukkannya mata pelajaran filsafat, pendidikan, sastra, dan teman-temannya karena guru takut si murid melampaui dirinya. Huh. Mestinya kan guru bangga, jika murid yang diajar lebih dalam ilmu serta wawasannya. Juga, saya melihat, sekolah umum berpusat pada pengejaran nilai-nilai di atas kertas bernama rapor. Bagaimana prosesnya? Entahlah. Sistem dan perangkat sekolah bisa jadi abai akan hal ini. Asal nilai tak merah. Asal naik kelas. 

Bagaimana dengan di pesantren?
Jangan berharap ujian yang sama dengan sekolah umum. Tak ada pilihan ganda. Kita hanya diberi satu lembar soal dan kertas kosong untuk jawaban. Menyontek? Bersiaplah dengan hukuman skorsing satu tahun. Saya ulangi, skorsing satu tahun. Disinilah pendidikan mental berlangsung selama bertahun-tahun. Kita selalu ditekankan, jika sekarang berbuat curang dalam skala kecil, besar kemungkinan akan berbuat curang dalam hal yang lebih besar dan bahaya di kemudian hari. 

Saya sendiri, memimpikan (semoga tak cuma mimpi semata) lembaga pendidikan yang serupa. Yang lebih fleksibel untuk masyarakat pada umumnya. Sistem asrama adalah hal utama bagi saya. Mengapa? Karena disitulah terjadi dinamika kehidupan. Belajar bersosialisasi. Memecahkan masalah sendiri/bersama. Menangani konflik. Hingga pada hal-hal yang mungkin dianggap remeh bagi sekolah umum, menyeret sendal misalnya. 

Oh ya, lembaga pendidikan tempat saya belajar mempunyai sintesa. Yaitu, mengambil nilai-nilai pokok yang baik dan diterapkan pada lingkungan pesantren. Empat lembaga pendidikan yang menjadi sintesa adalah:
  1. Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, yang memiliki wakaf yang sangat luas sehingga mampu mengutus para ulama ke seluruh penjuru dunia, dan memberikan beasiswa bagi ribuan pelajar dari berbagai belahan dunia untuk belajar di Universitas tersebut.
  2. Aligarh, yang terletak di India, yang memiliki perhatian sangat besar terhadap perbaikan sistem pendidikan dan pengajaran.
  3. Syanggit, di Mauritania, yang dihiasi kedermawanan dan keihlasan para pengasuhnya.
  4. Santiniketan, di India, dengan segenap kesederhanaan, ketenangan dan kedamaiannya. (sumber)
Sebagai alumni, saya berterima kasih atas segala ilmu yang hingga saat ini masih saya rasakan. Saya juga ingin berbagi kepada banyak orang. Karena, saya masih yakin, pendidikan adalah politik tertinggi. Bisa jadi seseorang terpelajar, tapi ilmu, mental dan etikanya belum pernah terdidik dengan baik. 

Salam pendidikan.

Makassar, jam yang sama seperti kemarin.