Minggu, 21 September 2014

Memang Jodoh?

Pernah membaca novel karya Marah Rusli yang berjudul "Memang Jodoh"? Jika belum, saya punya satu buah novelnya dan boleh dipinjam. Sekilas, tak ada hal yang menarik saat membaca di awal-awal halaman. Tapi, setelah masuk lebih jauh, saya seperti menyeberangi tapal batas waktu puluhan tahun silam.

Perkara jodoh sungguh suatu misteri yang sukar dijabarkan. Tak ada definisi yang mampu mengurainya dengan detil. Memang ia misteri, tapi ia sungguh tak pasti. Bedanya dengan kematian, yang juga misteri namun ia nyata dan pasti.

Dulu, kata ayah dan ibu, saat saya sedang lucu-lucunya (mungkin sekarang lucu versi orang dewasa), di usia yang masih balita, saya sering diajak untuk mengeja kata-kata. Apapun itu. Entah tulisan di potongan koran, papan nama di jalan-jalan, hingga nama bus penumpang yang biasa mampir di warung makan di jalan poros.

Pernah saat sedang mampir di sebuah warung makan di daerah Pinrang, ibu saya di hadapan karib kerabat, mencoba mengajari saya mengeja kata dan membacanya dengan lancar. Sejatinya, tulisan yang terpampang di bus adalah "SINAR WAHYU". Mulailah saya mengeja huruf demi huruf. S-I-N-A-R W-A-H-Y-U. Saya berhasil mengejanya.

Namun, yang terucap dari mulut saya bukan kata "SINAR WAHYU", melainkan "SUMBEK TANI" (maklum, saat itu belum bisa menyebut huruf R). Spontan orang-orang yang hadir tertawa sejadi-jadinya. Sekedar informasi, SUMBER TANI adalah salah satu perusahaan oto bus tahun 90-an.

Nah, setelah cek diricek (bukan acara infotainment yang ga mutu ya), warung yang sekitar 20 tahun lalu itu adalah rumah seorang sahabat. Memang, tak sering mampir di tempat itu lagi. Terakhir, saat berkunjung hari raya beberapa waktu lalu.

Jika memang ini termasuk pertanda dalam sebuah kehidupan, terlalu naif rasanya bila ingin dicocok-cocokkan dengan kisah dalam novel "Memang Jodoh". Tapi, jika memang demikian, yah, jodoh tetaplah jodoh. Usaha tetap diperlukan. Jika usaha belum tentu menghasilkan jodoh, biarlah jodoh mencari kita, lalu menemukan kita. (Sakit perut pas nulis bagian ini, hahaha)


Salam damai dan cinta.
Sesaat setelah mappetu ada'.
Makassar, 21 September 2014

Kamis, 18 September 2014

Bebas?

Tadi siang, sesaat setelah selesai mengurus paspor di kantor imigrasi, saya mencoba membuka situs jejaring sosial yang penduduk Indonesia berada di peringkat kedua dunia. Saya agak tersentil dengan sebuah catatan yang berisi opini (kalau saya mengganggap lebih kepada ekspresi penulis akan kebebaasan dan sebagainya). Lagi-lagi, ini tentang tubuh seorang perempuan.

Ngomong-ngomong tentang kebebasan, menurut KBBI, artinya adalah keadaan bebas, kemerdekaan. Kalau bahasa inggris sih ada istilah Freedom yang berarti The power or right to act, speak, or think as one wants. Ada juga kata Liberty yang berarti The state of being free within society from oppressive restrictions imposed by authority on one’s behaviour or political views. Nah, bagi saya, tak ada kebebasan yang betul-betul bebas tanpa batas. Tak ada kemerdekaan hakiki. Mengapa?

Pertama.
Kebebesan yang dianut masing-masing orang adalah berbeda. Pun dengan pemahaman tentang kebebasan itu sendiri. Contoh, bisa jadi, bebas bagi anak sekolah adalah tak ada kelas, tak ada pekerjaan rumah dan hanya bermain terus menerus. Pasti beda dengan kebebasan yang diinginkan oleh seseorang yang sedang dalam tawanan atau mendekam dari bilik jeruji besi. Jadi, perlu kita duduk bersama sembari diskusi (kalau perlu ditemani teh dan biskuit) tentang kebebasan yang kita anut.

Kedua.
Dalam buku yang dikarang oleh Kang Jalal, Rekayasa Sosial, salah satu kesalahan berfikir adalah Argumentum ad Verecundiam. Berargumen dengan menggunakan otoritas. Nah, saya mencoba untuk tidak menggunakan ototritas agama dalam hal ini. Mengapa? Karena, jika memakai frame agama, akan jelaslah perkara-perkara halal dan haram. Surga dan Neraka. Amal dan dosa. Dan selesailah diskusi panjang tentang tubuh perempuan beserta aurat-auratnya. Tapi, ini belum cukup. Jika agama belum mampu untuk memberikan pandangan baik dan buruk, maka fungsi sosial adalah salah satu jawaban untuk itu.

Ketiga.
Nah, ada pertanyaan terkait kondisi sosial masyarakat kita hari ini. Apa betul-betul mampu untuk menjalankan fungsi sosialnya? Tengok saja kasus Florence beberapa saat yang lalu. Setelah dihujani kritik dan dihantam cercaan, seolah masyarakat tak sadar telah salah dalam "mengeksekusi" apa yang harusnya "dieksekusi". Kok bawa-bawa masyarakat sih? Ya iyalah, karena jika ingin memperbaiki suatu masyarakat dan bangsa, harus berawal dari perempuannya. Setuju nggak? hehe

Keempat.
Sekali lagi, mengajak orang dalam kebaikan janganlah dengan kekerasan, pemaksaaan, apalagi sampai menumpahkan darah dan melenyapkan nyawa. Saya pun sangat tak setuju meski itu atas nama agama dan Tuhan. Karena, saya yakin, agama dan para pengikutnya menyeru dalam damai. Dalam perilaku, tutur kata dan sikap-sikap terpuji. Dalam agama yang saya yakini, memang ada anjuran agar tak ada paksaan dalam mengajak. Jika belum mampu mengajak dari tempat-tempat ibadah, cukuplah diri sendiri menjadi magnet untuk mengajak orang menjadi lebih baik.

Salam Damai dan Cinta

Siapa cepat, dia dapat

Beberapa hari ini, saya (sok) sibuk membuka laman imigrasi secara online. Setelah mencoba mendaftar via internet dan gagal, saya putuskan untuk datang langsung ke kantor imigrasi Makassar di Daya.

Untuk pertama kali, saya datang sekitar jam 1 siang. Dan bisa anda tebak, antrian cukup banyak. Saya coba bertanya pada petugas keamanan yang menjaga di meja sebelum tangga naik. Katanya, nomor antrian sudah habis. Saya disarankan untuk hadir besok pagi sekitar jam 7 pagi. Saya pun beranjak pergi.

Keesokan hari.

Setelah mengantar ibu ke sekolah, saya, dengan sedikit tergesa-gesa melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Maklum, saat itu sudah menunjukkan jam 7 lewat beberapa menit. Sampai di kantor imigrasi, sudah tak ada lagi nomor antrian. Saya menuju meja dan tak ada petugas. Dua orang laki-laki tampak sedang sibuk dengan berkas isian mereka. Saya pun mencoba bertanya dimana berkas formulir bisa diperoleh. Jawabnya ada di laci, sembari menunjuk laci meja yang tak dijaga. Lalu, muncullah seorang ibu paruh baya dan langsung membuka laci dan mengambil beberapa lembar formulir. Saya pun dapat formulir dengan isyarat satu jari pada ibu tersebut. Berkas formulir sudah di tangan. Tapi belum punya nomor antrian. Saya lalu pergi saat petugas menukar kartu (nomor antrian) dengan karcis antrian.

Hari ini

Saya merasa terlambat untuk datang. Mengapa? Saya tiba jam 6 pagi lewat seperempat dan mendapat nomor antrian A043. Biasanya, nomor antrian akan dipanggil sekitar jam 8 pagi. Berhubung saya belum melengkapi berkas, pulanglah saya ke rumah melewati MTos dan adipiran di jam 7 pagi. Tak usah saya ceritakan. Silahkan rasakan sendiri. Hahaha.

Dan sekarang, antrian sudah di nomor 30-an. Artinya, tak lama lagi giliran saya. Tapi, ada yang sedikit mengganjal selama saya mengantri. Di kantor imigrasi, sejatinya ada 4 loket. Tapi yang beroperasi pagi ini hanya 2 loket. Saya tak tahu alasan mengapa hanya ada 2 yang buka. Saya melihat beberapa petugas berseragam biru cerah lalu lalang di hadapan para pengantri. Menurut saya, jika keempat loket ini beroperasi, bukan tak mungkin pelayanan bisa menghemat waktu dan akan lebih efisien tentunya.

Selamat pagi. Selamat beraktifitas

Jumat, 12 September 2014

Bulan Malam

Orang-orang telah beranjak sedari senja
Melewati jalan mulus
Dengan barisan pohon rindang kiri kanan
Wajah-wajah lelah
Mengincar rumah

Lalu malam datang pada kami
Di bawah daun-daun yang gemulai
Rembulan nan putih hanya tampak irisan-irisan kecil

Waktu berlari
Kita terus mencari
Kadang bersama lalu menyendiri
Hingga nafas lelah lalu berhenti

Perisai, 12 September 2014
20:47 WITA

Rabu, 10 September 2014

Rey & Sarah tak berhenti berkisah (22)

Sambungan...


Setelah membalas beberapa pesan singkat yang masuk, Rey meletakkan ponselnya di atas meja. Persis di samping ponsel Sarah. 

"Sarah, dengar pendapatku. Saya tak ingin memaksakan kehendak. Bisa saja saya meminta padamu untuk tidak menerima pinangan lelaki yang datang terlebih dahulu. Tapi, seperti kukatakan padamu, tak ada hakku atas dirimu. Perkara kau mau menerima atau tidak, itu bukanlah urusanku. Saya hanya tak ingin, keputusan yang kau ambil, dipengaruhi oleh bukan dari kemauanmu. Kamu mengerti kan?"

"Aku masih belum mengerti Rey. Kukira, engkau memang serius padaku. Lantas, mengapa kau tak lagi ingin menepati janjimu?"

"Hey, adakah diantara kita janji yang belum kutunaikan? Saya belum datang meminangmu itu karena saya menunggu kabar darimu Sarah. Dan tiba-tiba, kamu datang membawa kabar bahwa seseorang telah meminangmu lebih dulu. Mengapa kini kau tampak bimbang dengan perkara ini?"

"Baiklah Rey, jika yang kau maksud adalah kejelasan dariku, maka aku lebih memilihmu dari pada lelaki itu."

Rey tertawa geli mendengar itu. 

"You must be kidding me"

"No. Aku serius."

Mereka saling bertatap mata. Rey tak sanggup dengan tatapan serius dari Sarah. 

"Jangan menatapku seperti itu Sarah. Memangnya saya terlihat seperti buronan?"

"Iya. Kamu memang buron Rey. Kamu buron hingga kamu datang menemui orang tuaku" 

Keduanya lalu tertawa. 

"Tunggu sebentar, aku ingin memesan minuman. Kamu mau minum apa?" tanya Rey.

"Cokelat panas satu"

"Terus yang itu" Rey menunjuk secangkir minuman yang sama. 

"Ini sudah dingin. Tak baik dan tak enak pula"

Rey kemudian berjalan menuju kasir dan mencoba bernegosiasi. 

"Mbak, teman saya mau pesan cokelat panas. Dan ada secangkir di mejanya yang belum dia cicipi. Bisa dipanaskan nggak? Sayang bila harus dibuang kan?"

"Oh iya boleh. Silahkan tunggu di tempat duduknya ya"

Rey kembali ke mejanya. 

"Saya sudah pesan satu lagi. Dan cokelat panas ini juga akan dipanaskan kembali. Jadi, akan ada dua cangkir cokelat panas"

"Kamu minum cokelat panas juga Rey?"

"Salah ya?"

"Nggak, nggak salah. Kukira dirimu tak selera dengan minuman cokelat. Haha"

"Yah, malah diledek"

Kali ini, giliran Sarah yang berjalan menuju kasir. 

"Tolong ditotal semuanya ya."

"Suaminya sudah bayar kok mbak. Tadi saat pesan cokelat panas"


Wajah Sarah merah padam. Lelaki yang duduk dihadapannya belumlah menjadi suaminya. Sarah masih menyimpan tanya. Siapa sosok Rey sebenarnya.


Bersambung...

Sabtu, 06 September 2014

Rey & Sarah tak berhenti berkisah (21)

sambungan...


Rey beranjak dari kursinya hendak memesan sesuatu. Ia menulis di atas secarik kertas. Dua gelas air hangat. semangkuk bubur ayam dan sebuah lilin. Ia berikan pada pelayan dan kembali ke mejanya.

"Apa tanggapanmu kali ini Rey?" Sarah kembali bertanya dengan tatapan yang mulai serius.

"Saya tidak ingin menanggapi ini. Mengapa kau terlihat tegang?"

"Apa harus kukatakan bahwa aku ingin menolak lamaran yang datang padaku karena aku menunggumu?" kali ini Sarah menunduk malu.

Rey membetulkan letak kursinya dan membuatnya sedikit lebih maju. Tangannya ia letakkan di atas meja bulat yang tanpa taplak. Wajahnya condong ke arah Sarah. Belum sempat ia berbicara, seorang pelayan datang mengantarkan pesanan.

"Ini pesanannya. Dua gelas air hangat, semangkuk bubur ayam dan sebuah lilin. Terima kasih"

"Iya. Terima kasih kembali." Jawab Rey singkat.

Sarah agak terkejut. Okelah bila ada mangkuk berisi bubur ayam dan air hangat. Tapi, untuk apa lilin yang dipesan Rey. Belum tuntas keheranannya, Rey berucap,

"Selamat ulang tahun ya. Sudah 22 tahun kamu menghirup oksigen yang tak berbayar ini. Meminum air yang entah kapan habis. Semakin banyak masalah datang menghadang, kamu akan lebih tangguh menghadapinya kan? Saya pun tak akan mengira bila harus menemanimu dalam suasana seperti ini."

Sesak yang dirasa di dada, Sarah tumpahkan dalam bulir-bulir air mata. Jatuh melewati pipi tanpa make-up. Ia seolah tak percaya bila berada dalam situasi yang ia sendiri tak bisa suarakan. Rey menyodorkan sapu tangannya.

"Menangislah Sarah. Saya akan senang berada disini sampai kau selesai dengan matamu yang terus basah."

Rey tahu, percuma menasehati seseorang yang sedang menangis. Karena menangis adalah bentuk ekspresi diri. Dan tak baik bila seseorang menangis dan menyuruhnya berhenti. Itu sama saja bila kita bahagia lalu tertawa dan kemudian berkata "berhentilah tertawa".

Sarah pamit ke kamar kecil. Ingin membasuh wajah, katanya. Tak lama kemudian, ia kembali dengan raut yang lebih segar meski matanya agak membesar dan merah.

"Bisa juga kamu nangis ya?" ledek Rey

"Kamu pikir aku ini robot apa?" Sarah menjawab dengan raut wajah kecut sambil tersenyum.

"Itu bubur ayam udah dingin. Makan dulu deh. Kamu pasti lapar. Setelah itu, kita lanjut bercerita. Deal?

"Oke deal. Kamu harus menjawab pertanyaanku setelah sendok terakhirku."

"Iya. Makan dulu sana"

Rey merogoh saku jaketnya. Mengambil ponselnya. Kemudian membalas beberapa pesan yang masuk. Diantara pesan tersebut, terselip sebuah pesan dari Eva.


Bersambung...






Selasa, 02 September 2014

Rey & Sarah tak berhenti berkisah (19)

sambungan...


Rey menerima sepucuk surat dari sebuah bank. Biasanya, sang ayahlah yang rutin menerima surat-surat pemberitahuan. Apakah itu surat tagihan asuransi atau sekedar informasi promo kartu kredit. Ia duduk di ruang tamu rumahnya yang bercat hijau muda. Di sofa yang warnanya mulai memudar menjadi hijau pekat. Meja kayu yang telah ada sejak ia berusia tiga tahun masih setia menemani rumahnya. 

Ternyata, surat yang ia terima berisi penawaran untuk membuat kartu kredit. Meski kadang ia pernah berkhayal, apa mungkin ia menerima pemberitahuan telah mendapat hadiah mobil. Rey tersenyum sumringah akan khayalan konyolnya itu. Tak dilanjutkannya membaca promosi tersebut. Ia beranjak lalu berjalan kembali ke kamar. 

Tiba-tiba, di layar ponselnya muncul sebuah nama "Sarah".

"Hai Rey. Apa kabar? Maaf. Aku tak menghubungimu belakangan ini. Aku tak bisa menjelaskan di telepon. Apa kita bisa bertemu malam ini di tempat biasa?"

Rey agak terkejut dengan permintaan Sarah yang cukup mendadak. 

"Hmmm. Aku harap aku bisa bertemu denganmu malam ini. Tapi, pekerjaanku belum tuntas. Nggak janji ya."

"Tak masalah. Aku siap menunggu jam berapa pun kamu selesai dengan tugasmu itu. Kamu tahu nomorku kan. Kirimi aku pesan singkat dan kita akan segera bertemu."

Rey berfikir sejenak. Seperti ada hal yang tak biasa pada Sarah. 

"Siap. Segera kukabari."

Sambungan telepon terputus. Rey mulai serius menggarap pekerjaannya. Meski dalam fikirannya, ia masih menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi dengan Sarah, calon istrinya.


Bersambung...

Senin, 01 September 2014

Rey & Sarah tak berhenti berkisah (18)

Sambungan...


Hari Raya Idul Fitri telah berlalu. Namun, belum ada tanda dari Rey untuk datang ke rumah Sarah. Pesan singkat atau panggilan telepon juga tiada. Ia segera menghubungi seseorang.

"Hallo...! Kamu apa kabar?"
"Baik. Tumben siang-siang telpon. Lagi nggak bertapa nih?"
"Ahahaha. Bertapa? Mau menulis kan nggak harus bertapa. Gimana dengan nilai IPK?"
"Hah? IPK? Mau tak mau, aku harus bersyukur karena nggak sampai terjun bebas"
"Nah, kalau belajar serius itu boleh. Asal kesehatan dan pola makan dijaga. Kan kamu juga yang repot kalau sedang nge-drop."
"Iya deh. Makasih sarannya"
"tutt...tut...tut..."

Rey lupa mengisi ulang pulsanya yang entah tersisa berapa ribu tadi pagi. Tiba-tiba, ponselnya berdering.

"Kak, kok terputus?"

Rey terdiam dan seolah mengalami freeze sekian detik lalu mencoba membangun kesadarannya kembali.

"Nggak tau nih. Pulsanya yang bocor. Hehehe."

Rey kembali mencoba mengingat-ingat, apakah ini pertama kali dia mendengar kata "kakak" dari suara di seberang telepon.

"Kok diam kak?"

"Eee...nggak..ini...di kamar agak berantakan. Kakak sedang mencari beberapa lembar kertas"

"Kertas? terselip di dompet mungkin. Atau, coba cari di depan cermin."

Rey langsung mengalihkan pandangannya pada cermin yang menempel di dinding. Memang, ada secarik kertas yang menempel disitu. Tapi bukan itu yang ia cari. Lalu mencoba merogoh kantong celana dan membuka dompet. Ia tak menemukan apa-apa selain deretan kartu nama, kartu identitas, kartu donor darah, dan sebuah foto yang sengaja ia balik. 

"Tak ada. Tebakanmu salah. Hahaha"

"Wah, sayang sekali ya kak. Saya memang tak berbakat menjadi tukang ramal"

"Hahaha. Sudah pandai melawak rupanya. Oh iya, sudah dulu ya. Lain waktu kita lanjut."

"Oke oke."

Rey akhirnya menemukan kertas yang ia cari. Ia temukan bersama senyumannya yang entah menyimpul dengan sendirinya. Pekerjaannya harus ia tuntaskan sebelum tengah malam. Saat membuka laptopnya, ia temukan sticky note di sudut kiri atas. Ia lalu meninggalkan kamarnya. 

Bersambung...