Sore itu, masih teringat jelas
dalam benak saya saat memasuki perpustakaan di gedung pendopo, persis di belakang masjid pusaka di lingkungan sekolah dulu. Dan tahun 2003 adalah tahun kedua saya menjadi
siswa di sekolah tersebut. Sistem sekolah memang mewajibkan masuk perpustakaan dua
kali dalam seminggu. Entah kapan dimulai, saya yakin, hanya hitungan jari
sekolah yang menerapkan sistem seperti ini.
Dan entah mengapa, salah satu
buku yang menarik minat saya adalah novel “jadul” alias jaman dulu yang
berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wick” karangan Buya Hamka. Sebagai siswa
yang saat itu masih amat sangat awam akan dunia kesusasteraan, saya tak sempat
melahap seluruh halaman novel. Hingga saya pun diberitahu oleh kakak pengurus
perpustakaan bahwa disediakan jasa photocopy
buku. Dan saya tak berfikir lama untuk itu. Segera saya sodorkan judul buku dan
menuliskan nama lengkap saya beserta kelas dan asrama.
Hingga pada suatu ketika di
Sumatera Barat.
Saya akhirnya menginjakkan kaki
di tanah minang. Tempat yang dulu selalu membayangi pikiran dalam angan-angan
saya. Entah itu dari gambar, cerita teman-teman yang berasal dari Sumatera
Barat, atau yang terkini dari internet. Dan tahukah anda, saya mulai
berkesimpulan sendiri bahwa pantaslah tanah minang melahirkan novel-novel roman
berkualitas. Kondisi alamnya yang sangat teduh, suasananya yang sejuk, serta
budayanya yang memang membuat saya tak berhenti menulis dalam dua minggu
pertama di tempat KKN (Kuliah Kerja Nyata) awal Juni lalu. Apalagi, salah satu
tempat pengambilan adengan dalam film adaptasi dari novel berada tak jauh dari
lokasi KKN.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wick
adalah bukti sejarah.
Novel yang berkualitas tidaklah
hanya dilihat dari siapa penulisnya, tapi juga dari kedalaman makna dan luasnya
lautan cinta di dalam novel tersebut. Jujur, novel roman yang pernah saya baca
selama ini, hanyalah mengupas cinta dari dari kulit luar saja. Dan hanya
sedikit yang mengandung unsur estetika dan keagungan di dalamnya. Pernah saya
merenung sejenak sambil bertanya pada memori di otak, apakah karya sastra
pertama yang saya baca setelah kitab suci saya. Dan jawabannya adalah satu,
novel “Tenggalamnya Kapal Van Der Wick” karangan Buya Hamka yang kharismatik.
Sejarah telah membuktikan bahwa
karya sastra yang indah sangat jauh dari komersialisasi. Buya Hamka pun sempat
dicemooh karena kegemarannya menulis, apalagi menulis kisah roman. Oleh
orang-orang disekitarnya yang sangat teguh pada prinsip agama, Buya sempat
dijauhi dan didiamkan karena keteguhannya dalam menulis. Dan sekarang? Setelah
puluhan tahun novel itu tertulis, masih saja saya didera rasa haus dan lapar
untuk membaca “Tenggelamnya Kapal Van Der Wick”.
Lihatlah, keteguhan cinta
Zainuddin pada Hayati. Sungguh indah bukan? Tanpa harus mengumbar nafsu.
Selamat membaca…!