Sabtu, 21 Desember 2013

Tenggelamnya Kapal Van Der Wick dan kenangan 10 tahun lalu



Sore itu, masih teringat jelas dalam benak saya saat memasuki perpustakaan di gedung pendopo, persis di belakang masjid pusaka di lingkungan sekolah dulu. Dan tahun 2003 adalah tahun kedua saya menjadi siswa di sekolah tersebut. Sistem sekolah memang mewajibkan masuk perpustakaan dua kali dalam seminggu. Entah kapan dimulai, saya yakin, hanya hitungan jari sekolah yang menerapkan sistem seperti ini. 

Dan entah mengapa, salah satu buku yang menarik minat saya adalah novel “jadul” alias jaman dulu yang berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wick” karangan Buya Hamka. Sebagai siswa yang saat itu masih amat sangat awam akan dunia kesusasteraan, saya tak sempat melahap seluruh halaman novel. Hingga saya pun diberitahu oleh kakak pengurus perpustakaan bahwa disediakan jasa photocopy buku. Dan saya tak berfikir lama untuk itu. Segera saya sodorkan judul buku dan menuliskan nama lengkap saya beserta kelas dan asrama.

Hingga pada suatu ketika di Sumatera Barat.

Saya akhirnya menginjakkan kaki di tanah minang. Tempat yang dulu selalu membayangi pikiran dalam angan-angan saya. Entah itu dari gambar, cerita teman-teman yang berasal dari Sumatera Barat, atau yang terkini dari internet. Dan tahukah anda, saya mulai berkesimpulan sendiri bahwa pantaslah tanah minang melahirkan novel-novel roman berkualitas. Kondisi alamnya yang sangat teduh, suasananya yang sejuk, serta budayanya yang memang membuat saya tak berhenti menulis dalam dua minggu pertama di tempat KKN (Kuliah Kerja Nyata) awal Juni lalu. Apalagi, salah satu tempat pengambilan adengan dalam film adaptasi dari novel berada tak jauh dari lokasi KKN. 

Tenggelamnya Kapal Van Der Wick adalah bukti sejarah. 

Novel yang berkualitas tidaklah hanya dilihat dari siapa penulisnya, tapi juga dari kedalaman makna dan luasnya lautan cinta di dalam novel tersebut. Jujur, novel roman yang pernah saya baca selama ini, hanyalah mengupas cinta dari dari kulit luar saja. Dan hanya sedikit yang mengandung unsur estetika dan keagungan di dalamnya. Pernah saya merenung sejenak sambil bertanya pada memori di otak, apakah karya sastra pertama yang saya baca setelah kitab suci saya. Dan jawabannya adalah satu, novel “Tenggalamnya Kapal Van Der Wick” karangan Buya Hamka yang kharismatik. 

Sejarah telah membuktikan bahwa karya sastra yang indah sangat jauh dari komersialisasi. Buya Hamka pun sempat dicemooh karena kegemarannya menulis, apalagi menulis kisah roman. Oleh orang-orang disekitarnya yang sangat teguh pada prinsip agama, Buya sempat dijauhi dan didiamkan karena keteguhannya dalam menulis. Dan sekarang? Setelah puluhan tahun novel itu tertulis, masih saja saya didera rasa haus dan lapar untuk membaca “Tenggelamnya Kapal Van Der Wick”.

Lihatlah, keteguhan cinta Zainuddin pada Hayati. Sungguh indah bukan? Tanpa harus mengumbar nafsu. 

Selamat membaca…!