Rabu, 08 Oktober 2014

Batal Menikah

Sumber gambar dari sini
Deva mengacak-acak rambutnya. Ia tampak gusar. Jadwal kegiatannya yang padat harus ia rombak. Di depan layar komputer jinjingnya, tertera tiket kereta untuk keberangkatan besok. Tak lama, pesan singkat masuk di ponselnya. 

"Sudah kukirim tiket di emailmu. Kutunggu kau di stasiun Tugu esok siang. Kal."

Deva sedang mengikuti pelatihan dari kantornya. Dan memang, ini adalah hari terakhir. Tapi, ia harus berangkat kembali ke Balikpapan. Kembali pulang, istirahat sehari, lalu bekerja sedia kala. 

Kal, seorang lelaki dengan perawakan tambun, dan pemilik rumah makan di beberapa kota, harus melangsungkan pernikahan dua minggu lagi.

"Kal, sesaat lagi aku tiba di stasiun Tugu. Ada apa sebenarnya?" Tulis Deva dalam pesan singkatnya.

"Nanti, kita mengobrol di bandara saja."

Tak lama, Deva turun dari kereta beserta ransel abu-abunya. Di tangan kirinya, ia menenteng tas kecil berwarna kuning cerah berisikan roti dan sebotol air mineral. Di pintu keluar, Kal telah menunggu Deva. 

"Aku memarkir mobilku disana. Kita ke Bandara naikTrans Jogja saja. Tak masalah kan?"

"Oke" jawab Deva. 

Kal berjalan beriringan dengan perempuan yang wajahnya bulat dan bermata biru itu. Dalam benaknya, benang kusut seperti menjalar memenuhi ruang-ruang syarafnya. Sedang Deva, ia tak berkata sesuatu pun. Dalam balutan pakaian hitam dan putih, layaknya peserta pelatihan, ia lebih banyak menunduk. 

Dalam perjalanan menuju bandara, Kal dan Deva berdiri dekat pintu bis. Seluruh bangku penuh dan sebagian orang telah berdiri di bagian belakang. Kal sibuk melihat kiri kanan jalan. Di luar, titik-titik air jatuh di atas langit Yogyakarta. 

Siang menjelang sore, Kal mampir di salah satu kafe. Memesan dua porsi makan dan dua botol air mineral.
"Tak usah kau pesan dua botol air, aku membawa minum sendiri."
"Kau tak berubah. Selalu setia dengan botol ungumu itu. Masih saja kau simpan."
"Katakan padaku, mengapa aku harus bersusah payah menghampirimu? Dan tiket dari kantorku? Terbuang percuma."
"Aku batal menikah." Jawab Kal singkat.

Deva bak disambar taksi (sebutan untuk angkutan umum di Balikpapan) saat itu. Fikirnya, Kal telah mempersiapkan segala sesuatu. Undangan sebanyak 2.000 buah telah disebar. Catering untuk konsumsi telah dipesan. Gedung telah siap. Dan itu batal hanya karena calon istrinya kedapatan selingkuh dengan pacar terdahulunya. 

"Dev, aku telah berkunjung ke rumahmu. Kusampaikan niatku pada ayah dan ibumu. Dan sekarang, aku menunggu jawaban darimu."
"Kapan kamu ke rumah? Mengapa tak memberitahuku sebelumnya?" Selidik Deva.
"Aku tak ingin mengganggu pelatihanmu di Surabaya."
"Mengapa harus aku?"
"Tak tahu. Perempuan yang hendak kunikahi, ternyata hanya melirik hartaku saja. Sedang dirimu, kita telah saling mengenal sejak kuliah di Jakarta."

Jam untuk check in maskapai plat merah itu tersisa beberapa menit. Nama penumpang Deva Sasrawati disebut berkali-kali melalui pengeras suara. Waktu mereka tak banyak. Kal kembali berkata-kata. "Tak usah kau jawab sekarang. Cukuplah kau kirim aku pesan singkat."

Deva beranjak dari tempatnya duduk. Sambil mengucap salam pada Kal, ia berjalan masuk menuju konter maskapai. Ia mendapati kursinya bernomor 1 C. Pesawat pun lepas landas. 

Tiba di rumah, Deva mencari ibunya. Mengecup kening yang mulai tampak kerutan, lalu menyalami tangannya. Sebelum Deva sempat bertanya, ibunya berbicara pelan.

"Kal datang beberapa hari lalu. Ibu dan ayahmu yang langsung menerimanya. Ayahmu, hanya menanyakan dua hal pada dirinya. Dan saat itu pula, ayahmu dan ibu setuju jika ia menjadi pendampingmu."

"Apa itu bu?"

"Ayahmu bertanya dimana Kal shalat subuh hari ini. Kal menjawab di masjid, seperti biasa. Lalu, saat ibu menyodorkan minuman, ia menolak. Ayahmu kembali bertanya, puasa apa yang sedang ia kerjakan. Kal menjawab, ia sedang berpuasa tiga hari berturut-turut di tiap bulan hijriyah. Ayahmu lalu pamit sebentar kebelakang dan mengajak ibu. Tanpa berkata sepatah kata, ayah dan ibu mengangguk setuju."

"Hanya itu yang ditanyakan ayah? Hanya dimana ia shalat subuh hari ini dan ia sedang berpuasa?"

"Nak, kami yakin, ia lelaki yang bisa membawamu menuju kebaikan. Mungkin ini terdengar aneh. Apalagi, di zaman semua orang menanyakan pekerjaan dan penghasilan. Tapi, kami, sebagai orang tuamu, yakin bahwa lelaki yang datang saat itu adalah orang yang tepat. Jika memang kebetulan ia shalat subuh di masjid, ia tak mungkin kebetulan berpuasa di tiga hari di pertengahan bulan hijriyah. Hanya orang-orang tertentu yang peduli akan perhitungan kalender islamlah yang selalu melihat tanggal hijriyah. Sekarang, semua telah kau dengar nak, pilihan berada di tanganmu."

"Tapi bu, ia baru saja memutuskan calon istrinya yang ia lamar sebulan lalu."

"Ibu percaya, jiwa akan selalu mencari sesama jiwanya."

Deva terdiam. Saat itu juga, ia raih ponselnya ingin mengirim pesan pada Kal. Ia cari namanya dalam daftar kontaknya. Tak ada. Ia melihat pesan terakhir yang masuk. Disitu, tertulis nama kontak "suami idamanku".

Tidak ada komentar: