Selasa, 20 Februari 2018

Sikap di Media Sosial

http://cdn2.tstatic.net/manado/foto/bank/images/argumen_20171210_125751.jpg
Sumber gambar disini



Bagaimana sikap kita menanggapi sebuah komentar di kanal sosial media?

Dunia, saat ini, orang-orang membaginya menjadi dua. Dunia nyata dimana kita hidup dan menjalani kehidupan kita. Dan dunia maya dimana kita bisa menjadi orang yang sungguh berbeda dengan dunia nyata. Meski tidak semua seperti demikian.

Hadirnya media sosial adalah sebuah produk kebudayaan. Teknologi berperan penting disini. Dan manusia mempunyai andil besar dalam menghasilkan sebuah karya (produk) dari kebudayaannya.
Dahulu, orang-orang terhubung dengan mailist. Munculnya Google di tahun 1998 merupakan loncatan besar bagi kita bagaimana berseluncur di dunia jaringan ini. Tak pelak, hubungan orang-orang semakin mudah dan seolah tak terbatasi lagi oleh ruang dan waktu. 

Bagaimana bersikap di media sosial?

Menurut seorang Cak Nun, internet itu melepaskan dan agama itu mengendalikan. Jika kita mencari garis lurusnya, hampir semua dari kita menumpahkan apa yang kita alami di media sosial. Orang memamerkan foto liburannya di Facebook. Ada yang mengunggah sajian di restoran ternama di Instagram. Tak lupa cuitan tentang macetnya jalanan di Twitter. Belum lagi status di WhatsApp. Dan masih banyak lagi. 

Nah, jika seseorang sudah mengeluarkan pendapatnya di media sosial, bagaimana kita menanggapinya?

Pertama. Langkah utama adalah melihat dari sisi terluar. Bahasa kerennya, secara komprehensif dan menyeluruh. Jangan sampai, kita mengukur seekor gajah hanya dengan meraba belalainya lalu berkesimpulan bahwa gajah adalah hewan yang panjang dan ramping. Ingat, melihat secara menyeluruh.

Kedua. Bersikap pro-aktif, bukan reaktif. Bersikap reaktif adalah dengan membalas perlakuan yang serupa persis setelah kita menerima perlakuan dari orang lain. Tak peduli dengan sebab musababnya. Inti bersikap reaktif ya balas dulu, benar salah belakangan. Berbeda dengan reaktif, proaktif ini mengedepankan logika dan sebab musabab. Mengapa terjadi demikian? Bagaimana bisa terjadi? Bagaimana jika saya membalasnya? Apa dampaknya? Dan seterusnya. Kalau menurut Mahatma Gandhi, jika mata dibalas mata, maka seluruh orang di dunia akan buta. 

Perlukah menanggapi komentar yang menyinggung di beranda media sosial?

Ya pastinya relatif. Bisa iya, bisa tidak. Tapi, pada dasarnya, jika seseorang diganggu lapisan yang beririsan dengan dirinya (keluarganya, teman dekatnya, klub main futsalnya, grup drama korea, penggemar K-Pop, Bollywood lover, hingga mungkin sekolah dan almamaternya), ada hal yang bisa membangkitkan ikatan emosional disitu. Tidak percaya? Coba sebut sekolah A jelek. Niscaya, akan ada alumni yang siap menyerang Anda. 

Apakah komentar tersebut berdampak panjang?

Bisa iya jika yang merasa tersinggung ingin membahasnya sepanjang waktu. Tapi untuk apa? Energi kita bisa jadi akan habis untuk masalah remeh itu. Lagi pula, dengan membalas komentar, belum tentu masalah tersebut selesai bukan? 

Lantas, harus bagaimana?

Kritik itu serupa vitamin. Iya bisa jadi terasa pahit tapi efeknya untuk menyembuhkan. Asalkan, dengan dosis dan takaran yang tempat. Serta diminum di waktu yang tepat. Kritik harusnya konstruktif. Apa itu? Ya kritik yang membangun. Jika kritikannya malah menjatuhkan? Itu namanya nyinyir aja. Tinggalkan saja.

Tapi ini bersinggungan dengan kebijakan dan system sebuah lembaga/organisasi?

Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus melihat ke dalam. Apalagi terkait kebijakan. Siapa yang mengambil kebijakan? Siapa pelaksananya? Bagaimana pelaksanaannya? Sudah tepat sasarankah tujuan kebijakannya? Dan masih banyak lagi.

Sebagai alumni, apa yang harus saya perbuat?

Tahan emosi di media sosial. Ini hanyalah ranah dimana orang-orang bertemu dan bertukar pendapat. Informasi saat ini laksana banjir bah yang airnya mengalir sangat deras. Dan kita membutuhkan sebuah bendungan untuk menampung semuanya agar tidak meluber dan mengakibatkan kerusakan. Apa bahan bendungannya? Buku dan membaca. Itu saja. 

Dengan membaca, cakrawala kita bisa terbuka. Wawasan terkembang lebar. Kita mampu menjangkau dunia dan tempat lain meski fisik kita belum pernah kesana. 

Dengan membaca, ada jeda bagi kita untuk menangkal laju informasi yang datang silih berganti. Kabar bohong. Berita palsu. Kejadian-kejadian yang belum tentu diketahui kebenarannya. 

Alangkah mubadzirnya kita jika hanya menghabiskan seluruh waktu dan tenaga untuk mengurusi “banjir” yang asalnya tidak kita ketahui. 

Mengutip seorang Eleanor Roosovelt, “Great minds discuss ideas, average minds discuss event, small minds discuss other people”.

Mari, menggunakan seluruh yang kita punya menjadi the great minds. 

Makassar, 19 Februari 2018