Rabu, 10 Desember 2014

Pendidikan kurikulum dan kurikulum pendidikan

Pertama-tama, saya tak ingin menyangkut-pautkan judul tulisan ini dengan hingar-bingar tentang perdebatan kurikulum hingga mengarah pada sara. Saya hanya ingin membagi pengalaman dan pandangan saya tentang pendidikan dan kurikulum yang pernah saya rasakan.

Bagi yang lahir tahun 90-an, saat masih di sekolah dasar, pastilah merasakan namanya catur wulan (biasa disingkat CAWU). Catur yang berarti empat dan wulan artinya bulan. Ya, selama setahun, saya merasakan tiga kali ujian (karena di akhir cawu diadakan ujian). Mengenang masa-masa itu, saya pasti teringat penjual es teler di luar pagar yang masih seharga 1.000 rupiah (saya dan teman-teman biasa hanya pesan setengah gelas seharga 500). Atau, ongkos pulang 200 rupiah dibelanjakan air tahu seratus rupiah dan pisang molen sisanya. Ah, sudahlah. 

Berlanjut ke tingkat berikutnya, saya mengenyam pendidikan di salah satu lembaga yang disebut dengan istilah pesantren di Ponorogo, Jawa Timur. Dan hanya mampu pulang sekali dalam setahun (liburan pertengahan tahun hanya 10 hari dan belum tentu ada jadwal kapal di tanggal perpulangan ataupun saat hendak kembali). 

Loncat ke kelas tiga (setara kelas 3 SMP/sederajat), kita sudah diberi salah satu pelajaran yang bukunya bertuliskan arab dan tak berharakat (orang-orang biasa menyebutnya arab gundul), mata pelajaran Tarbiyah (pendidikan). Saya masih ingat betul, saat pertama belajar seluk beluk pendidikan. Itu terjadi di tahun 2004 silam. Saya masih mengingat perkataan para ahli akan definisi pendidikan. Herbert Spencer, Aristoteles, Plato, dan beberapa ahli yang nama-namanya bertuliskan arab. Dan bahasa pengantarnya, pastilah berbahasa Arab.

Di kelas tiga, kita disuguhi berbagai macam pandangan pendidikan. Salah satu poin yang saya dapat ialah, pendidikan itu dipengaruhi tiga hal/ tiga faktor pendidikan. Rumah, sekolah, dan lingkungan. Dan biasanya, guru kami menambahkan unsur masjid. Bagi lembaga pendidikan tempat saya belajar, definisi pendidikan adalah apa yang dilihat, didengar dan dirasakan para santri. 

Itu di kelas tiga. Mata pelajaran tarbiyah/pendidikan ini diajarkan hingga kelas enam (setingkat kelas 3 SMA/sederajat). Empat tahun lamanya kita ditempa dengan nilai-nilai dan ajaran tentang pendidikan. Belum lagi ada tambahan mata pelajaran Psikologi Umum di kelas 5 (setingkat kelas 2 SMA/sederajat) dan Psikologi Pendidikan di kelas 6.

Di usia yang masih dianggap remaja, kita sudah harus paham tentang pendidikan sejak dini. Bahkan, di salah satu buku, kita diajarkan bagaimana menyikapi bayi yang lahir. Karena, dalam setiap fase, bayi merespon dengan keadaan yang berbeda. Atau, hal-hal apa yang perlu diberikan pada anak yang berada dalam masa puber. 

Menilik kehidupan remaja yang bersekolah (karena faktanya masih banyak yang belum mampu bersekolah), mereka semua mempunyai potensi. Sayangnya, kurikulum yang berada di sekolah pada umumnya, hanya bertumpu pada penguasaan mata pelajaran saja. Dan kurang mengeksplorasi potensi peserta didik. Atau, jangan-jangan (ini praduga saya saja), tidak dimasukkannya mata pelajaran filsafat, pendidikan, sastra, dan teman-temannya karena guru takut si murid melampaui dirinya. Huh. Mestinya kan guru bangga, jika murid yang diajar lebih dalam ilmu serta wawasannya. Juga, saya melihat, sekolah umum berpusat pada pengejaran nilai-nilai di atas kertas bernama rapor. Bagaimana prosesnya? Entahlah. Sistem dan perangkat sekolah bisa jadi abai akan hal ini. Asal nilai tak merah. Asal naik kelas. 

Bagaimana dengan di pesantren?
Jangan berharap ujian yang sama dengan sekolah umum. Tak ada pilihan ganda. Kita hanya diberi satu lembar soal dan kertas kosong untuk jawaban. Menyontek? Bersiaplah dengan hukuman skorsing satu tahun. Saya ulangi, skorsing satu tahun. Disinilah pendidikan mental berlangsung selama bertahun-tahun. Kita selalu ditekankan, jika sekarang berbuat curang dalam skala kecil, besar kemungkinan akan berbuat curang dalam hal yang lebih besar dan bahaya di kemudian hari. 

Saya sendiri, memimpikan (semoga tak cuma mimpi semata) lembaga pendidikan yang serupa. Yang lebih fleksibel untuk masyarakat pada umumnya. Sistem asrama adalah hal utama bagi saya. Mengapa? Karena disitulah terjadi dinamika kehidupan. Belajar bersosialisasi. Memecahkan masalah sendiri/bersama. Menangani konflik. Hingga pada hal-hal yang mungkin dianggap remeh bagi sekolah umum, menyeret sendal misalnya. 

Oh ya, lembaga pendidikan tempat saya belajar mempunyai sintesa. Yaitu, mengambil nilai-nilai pokok yang baik dan diterapkan pada lingkungan pesantren. Empat lembaga pendidikan yang menjadi sintesa adalah:
  1. Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, yang memiliki wakaf yang sangat luas sehingga mampu mengutus para ulama ke seluruh penjuru dunia, dan memberikan beasiswa bagi ribuan pelajar dari berbagai belahan dunia untuk belajar di Universitas tersebut.
  2. Aligarh, yang terletak di India, yang memiliki perhatian sangat besar terhadap perbaikan sistem pendidikan dan pengajaran.
  3. Syanggit, di Mauritania, yang dihiasi kedermawanan dan keihlasan para pengasuhnya.
  4. Santiniketan, di India, dengan segenap kesederhanaan, ketenangan dan kedamaiannya. (sumber)
Sebagai alumni, saya berterima kasih atas segala ilmu yang hingga saat ini masih saya rasakan. Saya juga ingin berbagi kepada banyak orang. Karena, saya masih yakin, pendidikan adalah politik tertinggi. Bisa jadi seseorang terpelajar, tapi ilmu, mental dan etikanya belum pernah terdidik dengan baik. 

Salam pendidikan.

Makassar, jam yang sama seperti kemarin.

Sabtu, 22 November 2014

Belajar, Mengabdi, dan Berjuang

Suasana Belajar
Tanpa mengesampingkan kenaikan harga BBM yang terus naik (entah kapan turun), perjuangan tak boleh berhenti. Bagi mereka yang menganggap kenaikan ini tak terlalu berimbas pada keuangan, alangkah baiknya sesekali menyusuri jalan-jalan yang dijejali penjual sayur. Atau bertanya pada penjual ikan yang biasa keliling di lorong-lorong kota. Atau duduk di samping sopir pete'-pete' dan bercakap tentang dampak BBM. Jika hal-hal diatas telah anda lakukan dan belum banyak mempengaruhi pandangan anda tentang kenaikan BBM, bersikaplah curiga pada diri sendiri. Semoga sifat-sifat manusia bersemayam dalam jiwa.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), juang bisa berarti berusaha sekuat tenaga tentang sesuatu; berusaha penuh dng kesukaran dan bahaya. Nah, sebagai makhluk yang dibekali akal untuk hidup, setiap dari kita pasti pernah merasakan perjuangan. Adapun kadarnya, itu kembali pada masing-masing individu. Tua muda, anak-anak maupun orang dewasa, semuanya punya definisi sendiri tentang arti pejuangan.

Saya ingin mengutip Surah Al-Isra ayat 84 yang artinya begini:  Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. Jika memang demikian, semestinya, tak ada lagi kata tidak berjuang selama kita hidup. Tak ada lagi alasan untuk bermalas-malasan selama hayat masih dikandung badan. 

Lantas, apa yang harus diperjuangkan?

Bagi saya, banyak hal yang bisa kita lakukan. Orientasi hidup perlu bergeser dari mementingkan hidup sendiri kepada kemaslahatan banyak orang. Seperti kata Buya Hamka, "Jika hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Jika bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja". Kita bisa mengabdi dalam bidang pendidikan, teknologi, pertanian, dan masih banyak lagi. Nah, sekarang, pilihan berada di tangan anda. Mau di bidang apa?

Jika anda bertanya pada saya, apa yang saya perjuangkan, hhmmm, banyak sekali yang ingin saya perbuat. Tapi, saya harus realistis dalam bersikap. Karena, jika harapan terlalu tinggi dan tak sesuai kondisi sekarang, bisa jadi akan banyak kekecewaaan. 

Saya lebih tertarik mengabdi di pendidikan dan kegiatan sosial. Bersama teman-teman, kita bisa membangun harapan yang tinggi namun tetap berpijak pada tanah. Realita sosial saat ini, yang menurut saya, terlalu menitikberatkan pada hasil, bukan pada proses. Coba ingat kembali masa-masa kita bersekolah. Ada berapa banyak angka-angka yang harus tertera di rapor. Dan bagi yang mendapat nilai tertinggi, dialah juaranya. Padahal tidak seperti itu. Kita terlalu sering mengabaikan proses serta mengawal dan meningkatkan proses menuju hasil akhir. 

Mengapa pendidikan? 

Ya, itu jalur yang saya pilih. Ada banyak hal yang bisa jadi saya lakukan disitu. Anda juga bisa berkarya di bidang lain. Masih ingat salah satu karya anak bangsa pencipta mobil listrik? Itu hanya salah satu contoh. Dan saya percaya, ada ribuan, bahkan jutaan orang baik sedang berjuan untuk kebaikan di jalur yang mereka ambil. Kita tak boleh tinggal diam. Kita harus bersua. Kita wajib mengabdi. Pilih jalur yang anda bisa. Karena jika orang benar dan baik hanya berdiam diri, maka yang berniat buruk dan jahat bisa jadi akan mengambil alih. 

Salam.

Malino, 22 November 2014

Minggu, 19 Oktober 2014

Akhir pekan

sumber: dari sini
Karena keterbatasan pengetahuan saya tentang sejarah asal-usul akhir pekan, saya mencoba mencari di Google dengan kata "history of weekend". Kok sampai segitunya mencari di internet? Ya, setidaknya, saya harus tahu, apakah istilah "ber-akhir pekan" itu, betul-betul menggambarkan kondisi saat ini. Silahkan buka hasil pencariannya disini

Ngomong-ngomong tentang akhir pekan, saya ingin sedikit bercerita kejadian-kejadian yang terjadi selama seminggu ini. 

Akhir pekan kemarin, saya dan teman-teman dari Forum Kampung Bahasa Sulawesi (FKBS), mengisi kelas ahad untuk anak-anak yang tergabung di Komunitas Pecinta Anak Jalanan (KPAJ). Kami, bersama anak-anak usia sekolah, memulai belajar dari pagi. Tampak para Tutor, sebutan untuk instruktur/pengajar Bahasa Inggris, sedang hanyut dalam pembelajaran. Ada yang bercerita, ada yang menggambar, ada pula yang serius mengucapkan nama-nama hari dan bulan dalam Bahasa Inggris.

Anak-anak ini, mereka bersasal dari keluarga yang kurang mampu dan belum seberuntung kita. Pengurus KPAJ, semoga mereka tetap diberkahi karena mau mengurus mereka ini, memberitahu bahwa anak-anak ini perlu bimbingan khusus. Belum semua mendapat beasiswa yang disediakan oleh pengurus. Salah satu syarat yang diajukan kepada orang tua adalah merelakan anaknya untuk tidak lagi turun ke jalan. Karena, mereka haruslah belajar dan bersekolah. Jika syarat ini diterima, anak tersebut berhak mendapat beasiswa. 

Dan kejadian lainnya adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh mahasiswa ekonomi syariah di Auditorium UIN Alauddin Makassar dan bernama "Economic Festival 2014". Ada seminar, diskusi buku tentang Pramoedya, serta dialog interaktif tentang MP3EI. Tak lupa, beberapa komunitas turut serta dengan membuka lapak di bagian belakang. Ada dari Rumah Baca Philosophia, FKBS, Mahasiswa Pancasila (MAPAN), komunitas Cara Baca, komunitas Sketch Makassar, juga turut hadir Kampoeng Merdeka, yang berjargon "Demonstrasi gaya baru" dengan koleksi kaos-kaosnya.

Oh ya, yang tak kalah heboh adalah pernikahan minggu ini. Entah mengapa, saya mencium aroma tak sedap saat salah satu siaran televisi menayangkan secara langsung peristiwa yang nggak penting tentang pernikahan pasangan selebriti. Jika memang ingin disaksikan dan didoakan oleh orang banyak, ya nggak gini juga kali bro. Semoga saya tidak terlilit sikap iri karena belum nikah. Emang, apa sih dampaknya? Saya melihat sebagai dampak sosial yang nyata.

Kok bisa? Ya iyalah. Bayangin aja kalau yang nonton adalah barisan para ibu yang serius menatap layar seharian. Bisa jadi, ibu-ibu ini, yang masih memiliki anak gadis, mengambil standar pernikahan seperti selebiriti kita. Kan berabe. Atau, para perempuan-perempuan dewasa yang ingin berumah tangga dan memimpikan dilamar dengan cara yang wah dan mahal. Ah, situ aja kali yang nggak mampu secara ekonomi. *ditabok sendal

Eh, sampai lupa, saya sendiri, dalam menikmati kesendirian dan membunuhnya dengan kegiatan yang produktif bilang aja kalau jomblo, terkadang mencari suasana yang lain dari biasanya. Mengerjakan hal-hal yang monoton dan terus terulang adalah menjemukan. Jika dalam seminggu selalu mengendarai motor, saya mecoba untuk naik kendaraan umum. Jika dalam seminggu saya tak bisa lepas dari telpon seluler, ada satu hari dimana saya tak memperhatikannya. ciyeeee. Dengan adanya variasi kegiatan dalam rutinitas kita, dijamin deh, kagak bakalan suntuk. Trust me. 

Dan akhir pekan ini? Cukuplah melakukan sambungan telepon lalu berdiskusi banyak hal tentang pendidikan. Carut-marutnya, penyelewangan dananya, dampaknya, dan bagaimana memperbaikinya.

Bagaimana akhir pekanmu? 

Sabtu, 11 Oktober 2014

Tamalanrea sore ini

Setelah menyegarkan diri dengan guyuran air di bak, saya bergegas menghidupkan mesin motor yang seharian terparkir di samping rumah. Tak lupa, jaket merah dan helm dengan warna yang sama. (Ciyyee, mahasiswa almamater merah :p )

Saya mulai menyusuri jalan-jalan kecil yang ramai dilalui oleh kendaraan roda dua. Ada jalan yang beraspal, tak beraspal, ada pula yang berpaving. Ada yang tinggi, juga ada yang rendah. Beruntung, peredam getar motor saya masih layak fungsi.

Deretan toko dan warung kecil saling berhadapan di sepanjang jalan yang tembus ke kampus. Warung makan, toko kelontong, jasa pengetikan dan print, tukang gunting rambut, dan tak ketinggalan penjahit yang biasa memodifikasi pakaian mahasiswa (motor kali dimodifikasi). Hahaha
Setidaknya, ada dua portal yang menutup akses dari workshop yang berbatasan langsung dengan kampus. Kami, mahasiswa kampus merah menyebut area workshop sebagai pusat kehidupan. Ya, hal-hal yang saya sebutkan diatas adalah bukti eksistensinya.

Jalan aspal kampus cukup mulus. Hanya beberapa saja yang berlubang. Dan akses menuju rektorat tentu harus bagus. Nyaris tak ada cacat. Saya melanjutkan perjalanan melalui pintu dua (karena kami menyebut gerbang utama sebagai pintu satu).

Di pintu dua, terdapat dua rumah sakit besar. Makanya, jangan heran bila melihat deretan mobil terparkir hingga badan jalan. Saya tak tahu, apakah pemilik mobil tersebut mengambil hak pengguna jalan yang lain? Kemacetan sering tak terelakkan. Jika pengendara motor dan mobil mengeluh kemacetan, lalu, apa mereka sadar akan ulah memarkir di bahu jalan. Entahlah.

Masuk di jalan poros, jalanan sore itu cukup ramai. Saya melihat seorang personil polisi menjaga tepat di deretan warung di ujung pintu dua. Saya hanya memacu motor dengan kecepatan 20km/jam. Cukup lambat untuk kategori pengendara disini. Saya mencoba menikmati pemandangan kota yang digadang-gadang menjadi "Kota Dunia". Huh.

Sepuluh menit berkendara, saya tiba di kios kecil di samping kantor imigrasi. Setelah membeli dua buah kartu untuk dipakai internet, saya langsung pulang.

Dalam perjalanan kembali, saya melihat beberapa anggota TNI, sepertinya mereka anggota baru, yang sedang diperiksa di pos masuk. Ada pula seorang yang bersembunyi di balik pohon sambil melepas jaket yang ia kenakan. Sedangkan teman-temannya sudah berbaris rapi di pos penjaga. Saya langsung  teringat beberapa tahun silam saat masih "mondok" di pesantren. Para santri, yang baru saja tiba dari luar pesantren, harus melapor di bagian keamanan. Dan ini hukumnya wajib. Karena kita mempunyai surat jalan dan itu harus dikembalikan di kantor bagian keamanan. (Yang terlambat, jangan harap anda akan bebas dari hukuman). Haha

Sebelum gerbang menuju BTP, lampu lalu lintas menyala merah. Sore itu, kendaraan menuju kota tak seramai biasanya. Hanya beberapa deret mobil kebelakang. Dan lampu pun berubah hijau. Saya melanjutkan perjalanan dengan pelan.

Saya berbelok di depan asrama tentara di yang berdekatan dengan Pesantren IMMIM, salah satu pesantren terkenal di Sulawesi Selatan dan Indonesia. Lalu, berbelok di pintu dua.

Saya tak melintas di jalur yang menuju fakultas sastra, tapi memilih untuk berkeliling lingkungan kampus yang sore itu dilalui oleh orang-orang yang lari sore. Ada yang sendiri, berdua, maupun bergerombol. Saya melintasi fakultas hukum, fakultas ekonomi, baruga kampus, fakultas kedokteran dan fakultas kesehatan masyarakat dan gedung pascasarjana.

Di tikungan FKM, di sebelah kanan, terhampar tanaman buah naga. Pastinya milik fakultas pertanian. Lalu ada politeknik di sebelah kanan. Berhadapan dengan fakuktas ilmu perikanan dan kelautan. Lalu, fakultas MIPA dan fakultas teknik.

Saya berbelok ke kanan, melintasi portal yang tertutup di sebelah kiri. Persis di samping warung lalapan yang harganya delapan ribuan rupiah.

Lalu, apa ceritamu sore ini?

Rabu, 08 Oktober 2014

Batal Menikah

Sumber gambar dari sini
Deva mengacak-acak rambutnya. Ia tampak gusar. Jadwal kegiatannya yang padat harus ia rombak. Di depan layar komputer jinjingnya, tertera tiket kereta untuk keberangkatan besok. Tak lama, pesan singkat masuk di ponselnya. 

"Sudah kukirim tiket di emailmu. Kutunggu kau di stasiun Tugu esok siang. Kal."

Deva sedang mengikuti pelatihan dari kantornya. Dan memang, ini adalah hari terakhir. Tapi, ia harus berangkat kembali ke Balikpapan. Kembali pulang, istirahat sehari, lalu bekerja sedia kala. 

Kal, seorang lelaki dengan perawakan tambun, dan pemilik rumah makan di beberapa kota, harus melangsungkan pernikahan dua minggu lagi.

"Kal, sesaat lagi aku tiba di stasiun Tugu. Ada apa sebenarnya?" Tulis Deva dalam pesan singkatnya.

"Nanti, kita mengobrol di bandara saja."

Tak lama, Deva turun dari kereta beserta ransel abu-abunya. Di tangan kirinya, ia menenteng tas kecil berwarna kuning cerah berisikan roti dan sebotol air mineral. Di pintu keluar, Kal telah menunggu Deva. 

"Aku memarkir mobilku disana. Kita ke Bandara naikTrans Jogja saja. Tak masalah kan?"

"Oke" jawab Deva. 

Kal berjalan beriringan dengan perempuan yang wajahnya bulat dan bermata biru itu. Dalam benaknya, benang kusut seperti menjalar memenuhi ruang-ruang syarafnya. Sedang Deva, ia tak berkata sesuatu pun. Dalam balutan pakaian hitam dan putih, layaknya peserta pelatihan, ia lebih banyak menunduk. 

Dalam perjalanan menuju bandara, Kal dan Deva berdiri dekat pintu bis. Seluruh bangku penuh dan sebagian orang telah berdiri di bagian belakang. Kal sibuk melihat kiri kanan jalan. Di luar, titik-titik air jatuh di atas langit Yogyakarta. 

Siang menjelang sore, Kal mampir di salah satu kafe. Memesan dua porsi makan dan dua botol air mineral.
"Tak usah kau pesan dua botol air, aku membawa minum sendiri."
"Kau tak berubah. Selalu setia dengan botol ungumu itu. Masih saja kau simpan."
"Katakan padaku, mengapa aku harus bersusah payah menghampirimu? Dan tiket dari kantorku? Terbuang percuma."
"Aku batal menikah." Jawab Kal singkat.

Deva bak disambar taksi (sebutan untuk angkutan umum di Balikpapan) saat itu. Fikirnya, Kal telah mempersiapkan segala sesuatu. Undangan sebanyak 2.000 buah telah disebar. Catering untuk konsumsi telah dipesan. Gedung telah siap. Dan itu batal hanya karena calon istrinya kedapatan selingkuh dengan pacar terdahulunya. 

"Dev, aku telah berkunjung ke rumahmu. Kusampaikan niatku pada ayah dan ibumu. Dan sekarang, aku menunggu jawaban darimu."
"Kapan kamu ke rumah? Mengapa tak memberitahuku sebelumnya?" Selidik Deva.
"Aku tak ingin mengganggu pelatihanmu di Surabaya."
"Mengapa harus aku?"
"Tak tahu. Perempuan yang hendak kunikahi, ternyata hanya melirik hartaku saja. Sedang dirimu, kita telah saling mengenal sejak kuliah di Jakarta."

Jam untuk check in maskapai plat merah itu tersisa beberapa menit. Nama penumpang Deva Sasrawati disebut berkali-kali melalui pengeras suara. Waktu mereka tak banyak. Kal kembali berkata-kata. "Tak usah kau jawab sekarang. Cukuplah kau kirim aku pesan singkat."

Deva beranjak dari tempatnya duduk. Sambil mengucap salam pada Kal, ia berjalan masuk menuju konter maskapai. Ia mendapati kursinya bernomor 1 C. Pesawat pun lepas landas. 

Tiba di rumah, Deva mencari ibunya. Mengecup kening yang mulai tampak kerutan, lalu menyalami tangannya. Sebelum Deva sempat bertanya, ibunya berbicara pelan.

"Kal datang beberapa hari lalu. Ibu dan ayahmu yang langsung menerimanya. Ayahmu, hanya menanyakan dua hal pada dirinya. Dan saat itu pula, ayahmu dan ibu setuju jika ia menjadi pendampingmu."

"Apa itu bu?"

"Ayahmu bertanya dimana Kal shalat subuh hari ini. Kal menjawab di masjid, seperti biasa. Lalu, saat ibu menyodorkan minuman, ia menolak. Ayahmu kembali bertanya, puasa apa yang sedang ia kerjakan. Kal menjawab, ia sedang berpuasa tiga hari berturut-turut di tiap bulan hijriyah. Ayahmu lalu pamit sebentar kebelakang dan mengajak ibu. Tanpa berkata sepatah kata, ayah dan ibu mengangguk setuju."

"Hanya itu yang ditanyakan ayah? Hanya dimana ia shalat subuh hari ini dan ia sedang berpuasa?"

"Nak, kami yakin, ia lelaki yang bisa membawamu menuju kebaikan. Mungkin ini terdengar aneh. Apalagi, di zaman semua orang menanyakan pekerjaan dan penghasilan. Tapi, kami, sebagai orang tuamu, yakin bahwa lelaki yang datang saat itu adalah orang yang tepat. Jika memang kebetulan ia shalat subuh di masjid, ia tak mungkin kebetulan berpuasa di tiga hari di pertengahan bulan hijriyah. Hanya orang-orang tertentu yang peduli akan perhitungan kalender islamlah yang selalu melihat tanggal hijriyah. Sekarang, semua telah kau dengar nak, pilihan berada di tanganmu."

"Tapi bu, ia baru saja memutuskan calon istrinya yang ia lamar sebulan lalu."

"Ibu percaya, jiwa akan selalu mencari sesama jiwanya."

Deva terdiam. Saat itu juga, ia raih ponselnya ingin mengirim pesan pada Kal. Ia cari namanya dalam daftar kontaknya. Tak ada. Ia melihat pesan terakhir yang masuk. Disitu, tertulis nama kontak "suami idamanku".

Minggu, 21 September 2014

Memang Jodoh?

Pernah membaca novel karya Marah Rusli yang berjudul "Memang Jodoh"? Jika belum, saya punya satu buah novelnya dan boleh dipinjam. Sekilas, tak ada hal yang menarik saat membaca di awal-awal halaman. Tapi, setelah masuk lebih jauh, saya seperti menyeberangi tapal batas waktu puluhan tahun silam.

Perkara jodoh sungguh suatu misteri yang sukar dijabarkan. Tak ada definisi yang mampu mengurainya dengan detil. Memang ia misteri, tapi ia sungguh tak pasti. Bedanya dengan kematian, yang juga misteri namun ia nyata dan pasti.

Dulu, kata ayah dan ibu, saat saya sedang lucu-lucunya (mungkin sekarang lucu versi orang dewasa), di usia yang masih balita, saya sering diajak untuk mengeja kata-kata. Apapun itu. Entah tulisan di potongan koran, papan nama di jalan-jalan, hingga nama bus penumpang yang biasa mampir di warung makan di jalan poros.

Pernah saat sedang mampir di sebuah warung makan di daerah Pinrang, ibu saya di hadapan karib kerabat, mencoba mengajari saya mengeja kata dan membacanya dengan lancar. Sejatinya, tulisan yang terpampang di bus adalah "SINAR WAHYU". Mulailah saya mengeja huruf demi huruf. S-I-N-A-R W-A-H-Y-U. Saya berhasil mengejanya.

Namun, yang terucap dari mulut saya bukan kata "SINAR WAHYU", melainkan "SUMBEK TANI" (maklum, saat itu belum bisa menyebut huruf R). Spontan orang-orang yang hadir tertawa sejadi-jadinya. Sekedar informasi, SUMBER TANI adalah salah satu perusahaan oto bus tahun 90-an.

Nah, setelah cek diricek (bukan acara infotainment yang ga mutu ya), warung yang sekitar 20 tahun lalu itu adalah rumah seorang sahabat. Memang, tak sering mampir di tempat itu lagi. Terakhir, saat berkunjung hari raya beberapa waktu lalu.

Jika memang ini termasuk pertanda dalam sebuah kehidupan, terlalu naif rasanya bila ingin dicocok-cocokkan dengan kisah dalam novel "Memang Jodoh". Tapi, jika memang demikian, yah, jodoh tetaplah jodoh. Usaha tetap diperlukan. Jika usaha belum tentu menghasilkan jodoh, biarlah jodoh mencari kita, lalu menemukan kita. (Sakit perut pas nulis bagian ini, hahaha)


Salam damai dan cinta.
Sesaat setelah mappetu ada'.
Makassar, 21 September 2014

Kamis, 18 September 2014

Bebas?

Tadi siang, sesaat setelah selesai mengurus paspor di kantor imigrasi, saya mencoba membuka situs jejaring sosial yang penduduk Indonesia berada di peringkat kedua dunia. Saya agak tersentil dengan sebuah catatan yang berisi opini (kalau saya mengganggap lebih kepada ekspresi penulis akan kebebaasan dan sebagainya). Lagi-lagi, ini tentang tubuh seorang perempuan.

Ngomong-ngomong tentang kebebasan, menurut KBBI, artinya adalah keadaan bebas, kemerdekaan. Kalau bahasa inggris sih ada istilah Freedom yang berarti The power or right to act, speak, or think as one wants. Ada juga kata Liberty yang berarti The state of being free within society from oppressive restrictions imposed by authority on one’s behaviour or political views. Nah, bagi saya, tak ada kebebasan yang betul-betul bebas tanpa batas. Tak ada kemerdekaan hakiki. Mengapa?

Pertama.
Kebebesan yang dianut masing-masing orang adalah berbeda. Pun dengan pemahaman tentang kebebasan itu sendiri. Contoh, bisa jadi, bebas bagi anak sekolah adalah tak ada kelas, tak ada pekerjaan rumah dan hanya bermain terus menerus. Pasti beda dengan kebebasan yang diinginkan oleh seseorang yang sedang dalam tawanan atau mendekam dari bilik jeruji besi. Jadi, perlu kita duduk bersama sembari diskusi (kalau perlu ditemani teh dan biskuit) tentang kebebasan yang kita anut.

Kedua.
Dalam buku yang dikarang oleh Kang Jalal, Rekayasa Sosial, salah satu kesalahan berfikir adalah Argumentum ad Verecundiam. Berargumen dengan menggunakan otoritas. Nah, saya mencoba untuk tidak menggunakan ototritas agama dalam hal ini. Mengapa? Karena, jika memakai frame agama, akan jelaslah perkara-perkara halal dan haram. Surga dan Neraka. Amal dan dosa. Dan selesailah diskusi panjang tentang tubuh perempuan beserta aurat-auratnya. Tapi, ini belum cukup. Jika agama belum mampu untuk memberikan pandangan baik dan buruk, maka fungsi sosial adalah salah satu jawaban untuk itu.

Ketiga.
Nah, ada pertanyaan terkait kondisi sosial masyarakat kita hari ini. Apa betul-betul mampu untuk menjalankan fungsi sosialnya? Tengok saja kasus Florence beberapa saat yang lalu. Setelah dihujani kritik dan dihantam cercaan, seolah masyarakat tak sadar telah salah dalam "mengeksekusi" apa yang harusnya "dieksekusi". Kok bawa-bawa masyarakat sih? Ya iyalah, karena jika ingin memperbaiki suatu masyarakat dan bangsa, harus berawal dari perempuannya. Setuju nggak? hehe

Keempat.
Sekali lagi, mengajak orang dalam kebaikan janganlah dengan kekerasan, pemaksaaan, apalagi sampai menumpahkan darah dan melenyapkan nyawa. Saya pun sangat tak setuju meski itu atas nama agama dan Tuhan. Karena, saya yakin, agama dan para pengikutnya menyeru dalam damai. Dalam perilaku, tutur kata dan sikap-sikap terpuji. Dalam agama yang saya yakini, memang ada anjuran agar tak ada paksaan dalam mengajak. Jika belum mampu mengajak dari tempat-tempat ibadah, cukuplah diri sendiri menjadi magnet untuk mengajak orang menjadi lebih baik.

Salam Damai dan Cinta

Siapa cepat, dia dapat

Beberapa hari ini, saya (sok) sibuk membuka laman imigrasi secara online. Setelah mencoba mendaftar via internet dan gagal, saya putuskan untuk datang langsung ke kantor imigrasi Makassar di Daya.

Untuk pertama kali, saya datang sekitar jam 1 siang. Dan bisa anda tebak, antrian cukup banyak. Saya coba bertanya pada petugas keamanan yang menjaga di meja sebelum tangga naik. Katanya, nomor antrian sudah habis. Saya disarankan untuk hadir besok pagi sekitar jam 7 pagi. Saya pun beranjak pergi.

Keesokan hari.

Setelah mengantar ibu ke sekolah, saya, dengan sedikit tergesa-gesa melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Maklum, saat itu sudah menunjukkan jam 7 lewat beberapa menit. Sampai di kantor imigrasi, sudah tak ada lagi nomor antrian. Saya menuju meja dan tak ada petugas. Dua orang laki-laki tampak sedang sibuk dengan berkas isian mereka. Saya pun mencoba bertanya dimana berkas formulir bisa diperoleh. Jawabnya ada di laci, sembari menunjuk laci meja yang tak dijaga. Lalu, muncullah seorang ibu paruh baya dan langsung membuka laci dan mengambil beberapa lembar formulir. Saya pun dapat formulir dengan isyarat satu jari pada ibu tersebut. Berkas formulir sudah di tangan. Tapi belum punya nomor antrian. Saya lalu pergi saat petugas menukar kartu (nomor antrian) dengan karcis antrian.

Hari ini

Saya merasa terlambat untuk datang. Mengapa? Saya tiba jam 6 pagi lewat seperempat dan mendapat nomor antrian A043. Biasanya, nomor antrian akan dipanggil sekitar jam 8 pagi. Berhubung saya belum melengkapi berkas, pulanglah saya ke rumah melewati MTos dan adipiran di jam 7 pagi. Tak usah saya ceritakan. Silahkan rasakan sendiri. Hahaha.

Dan sekarang, antrian sudah di nomor 30-an. Artinya, tak lama lagi giliran saya. Tapi, ada yang sedikit mengganjal selama saya mengantri. Di kantor imigrasi, sejatinya ada 4 loket. Tapi yang beroperasi pagi ini hanya 2 loket. Saya tak tahu alasan mengapa hanya ada 2 yang buka. Saya melihat beberapa petugas berseragam biru cerah lalu lalang di hadapan para pengantri. Menurut saya, jika keempat loket ini beroperasi, bukan tak mungkin pelayanan bisa menghemat waktu dan akan lebih efisien tentunya.

Selamat pagi. Selamat beraktifitas

Jumat, 12 September 2014

Bulan Malam

Orang-orang telah beranjak sedari senja
Melewati jalan mulus
Dengan barisan pohon rindang kiri kanan
Wajah-wajah lelah
Mengincar rumah

Lalu malam datang pada kami
Di bawah daun-daun yang gemulai
Rembulan nan putih hanya tampak irisan-irisan kecil

Waktu berlari
Kita terus mencari
Kadang bersama lalu menyendiri
Hingga nafas lelah lalu berhenti

Perisai, 12 September 2014
20:47 WITA

Rabu, 10 September 2014

Rey & Sarah tak berhenti berkisah (22)

Sambungan...


Setelah membalas beberapa pesan singkat yang masuk, Rey meletakkan ponselnya di atas meja. Persis di samping ponsel Sarah. 

"Sarah, dengar pendapatku. Saya tak ingin memaksakan kehendak. Bisa saja saya meminta padamu untuk tidak menerima pinangan lelaki yang datang terlebih dahulu. Tapi, seperti kukatakan padamu, tak ada hakku atas dirimu. Perkara kau mau menerima atau tidak, itu bukanlah urusanku. Saya hanya tak ingin, keputusan yang kau ambil, dipengaruhi oleh bukan dari kemauanmu. Kamu mengerti kan?"

"Aku masih belum mengerti Rey. Kukira, engkau memang serius padaku. Lantas, mengapa kau tak lagi ingin menepati janjimu?"

"Hey, adakah diantara kita janji yang belum kutunaikan? Saya belum datang meminangmu itu karena saya menunggu kabar darimu Sarah. Dan tiba-tiba, kamu datang membawa kabar bahwa seseorang telah meminangmu lebih dulu. Mengapa kini kau tampak bimbang dengan perkara ini?"

"Baiklah Rey, jika yang kau maksud adalah kejelasan dariku, maka aku lebih memilihmu dari pada lelaki itu."

Rey tertawa geli mendengar itu. 

"You must be kidding me"

"No. Aku serius."

Mereka saling bertatap mata. Rey tak sanggup dengan tatapan serius dari Sarah. 

"Jangan menatapku seperti itu Sarah. Memangnya saya terlihat seperti buronan?"

"Iya. Kamu memang buron Rey. Kamu buron hingga kamu datang menemui orang tuaku" 

Keduanya lalu tertawa. 

"Tunggu sebentar, aku ingin memesan minuman. Kamu mau minum apa?" tanya Rey.

"Cokelat panas satu"

"Terus yang itu" Rey menunjuk secangkir minuman yang sama. 

"Ini sudah dingin. Tak baik dan tak enak pula"

Rey kemudian berjalan menuju kasir dan mencoba bernegosiasi. 

"Mbak, teman saya mau pesan cokelat panas. Dan ada secangkir di mejanya yang belum dia cicipi. Bisa dipanaskan nggak? Sayang bila harus dibuang kan?"

"Oh iya boleh. Silahkan tunggu di tempat duduknya ya"

Rey kembali ke mejanya. 

"Saya sudah pesan satu lagi. Dan cokelat panas ini juga akan dipanaskan kembali. Jadi, akan ada dua cangkir cokelat panas"

"Kamu minum cokelat panas juga Rey?"

"Salah ya?"

"Nggak, nggak salah. Kukira dirimu tak selera dengan minuman cokelat. Haha"

"Yah, malah diledek"

Kali ini, giliran Sarah yang berjalan menuju kasir. 

"Tolong ditotal semuanya ya."

"Suaminya sudah bayar kok mbak. Tadi saat pesan cokelat panas"


Wajah Sarah merah padam. Lelaki yang duduk dihadapannya belumlah menjadi suaminya. Sarah masih menyimpan tanya. Siapa sosok Rey sebenarnya.


Bersambung...

Sabtu, 06 September 2014

Rey & Sarah tak berhenti berkisah (21)

sambungan...


Rey beranjak dari kursinya hendak memesan sesuatu. Ia menulis di atas secarik kertas. Dua gelas air hangat. semangkuk bubur ayam dan sebuah lilin. Ia berikan pada pelayan dan kembali ke mejanya.

"Apa tanggapanmu kali ini Rey?" Sarah kembali bertanya dengan tatapan yang mulai serius.

"Saya tidak ingin menanggapi ini. Mengapa kau terlihat tegang?"

"Apa harus kukatakan bahwa aku ingin menolak lamaran yang datang padaku karena aku menunggumu?" kali ini Sarah menunduk malu.

Rey membetulkan letak kursinya dan membuatnya sedikit lebih maju. Tangannya ia letakkan di atas meja bulat yang tanpa taplak. Wajahnya condong ke arah Sarah. Belum sempat ia berbicara, seorang pelayan datang mengantarkan pesanan.

"Ini pesanannya. Dua gelas air hangat, semangkuk bubur ayam dan sebuah lilin. Terima kasih"

"Iya. Terima kasih kembali." Jawab Rey singkat.

Sarah agak terkejut. Okelah bila ada mangkuk berisi bubur ayam dan air hangat. Tapi, untuk apa lilin yang dipesan Rey. Belum tuntas keheranannya, Rey berucap,

"Selamat ulang tahun ya. Sudah 22 tahun kamu menghirup oksigen yang tak berbayar ini. Meminum air yang entah kapan habis. Semakin banyak masalah datang menghadang, kamu akan lebih tangguh menghadapinya kan? Saya pun tak akan mengira bila harus menemanimu dalam suasana seperti ini."

Sesak yang dirasa di dada, Sarah tumpahkan dalam bulir-bulir air mata. Jatuh melewati pipi tanpa make-up. Ia seolah tak percaya bila berada dalam situasi yang ia sendiri tak bisa suarakan. Rey menyodorkan sapu tangannya.

"Menangislah Sarah. Saya akan senang berada disini sampai kau selesai dengan matamu yang terus basah."

Rey tahu, percuma menasehati seseorang yang sedang menangis. Karena menangis adalah bentuk ekspresi diri. Dan tak baik bila seseorang menangis dan menyuruhnya berhenti. Itu sama saja bila kita bahagia lalu tertawa dan kemudian berkata "berhentilah tertawa".

Sarah pamit ke kamar kecil. Ingin membasuh wajah, katanya. Tak lama kemudian, ia kembali dengan raut yang lebih segar meski matanya agak membesar dan merah.

"Bisa juga kamu nangis ya?" ledek Rey

"Kamu pikir aku ini robot apa?" Sarah menjawab dengan raut wajah kecut sambil tersenyum.

"Itu bubur ayam udah dingin. Makan dulu deh. Kamu pasti lapar. Setelah itu, kita lanjut bercerita. Deal?

"Oke deal. Kamu harus menjawab pertanyaanku setelah sendok terakhirku."

"Iya. Makan dulu sana"

Rey merogoh saku jaketnya. Mengambil ponselnya. Kemudian membalas beberapa pesan yang masuk. Diantara pesan tersebut, terselip sebuah pesan dari Eva.


Bersambung...






Selasa, 02 September 2014

Rey & Sarah tak berhenti berkisah (19)

sambungan...


Rey menerima sepucuk surat dari sebuah bank. Biasanya, sang ayahlah yang rutin menerima surat-surat pemberitahuan. Apakah itu surat tagihan asuransi atau sekedar informasi promo kartu kredit. Ia duduk di ruang tamu rumahnya yang bercat hijau muda. Di sofa yang warnanya mulai memudar menjadi hijau pekat. Meja kayu yang telah ada sejak ia berusia tiga tahun masih setia menemani rumahnya. 

Ternyata, surat yang ia terima berisi penawaran untuk membuat kartu kredit. Meski kadang ia pernah berkhayal, apa mungkin ia menerima pemberitahuan telah mendapat hadiah mobil. Rey tersenyum sumringah akan khayalan konyolnya itu. Tak dilanjutkannya membaca promosi tersebut. Ia beranjak lalu berjalan kembali ke kamar. 

Tiba-tiba, di layar ponselnya muncul sebuah nama "Sarah".

"Hai Rey. Apa kabar? Maaf. Aku tak menghubungimu belakangan ini. Aku tak bisa menjelaskan di telepon. Apa kita bisa bertemu malam ini di tempat biasa?"

Rey agak terkejut dengan permintaan Sarah yang cukup mendadak. 

"Hmmm. Aku harap aku bisa bertemu denganmu malam ini. Tapi, pekerjaanku belum tuntas. Nggak janji ya."

"Tak masalah. Aku siap menunggu jam berapa pun kamu selesai dengan tugasmu itu. Kamu tahu nomorku kan. Kirimi aku pesan singkat dan kita akan segera bertemu."

Rey berfikir sejenak. Seperti ada hal yang tak biasa pada Sarah. 

"Siap. Segera kukabari."

Sambungan telepon terputus. Rey mulai serius menggarap pekerjaannya. Meski dalam fikirannya, ia masih menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi dengan Sarah, calon istrinya.


Bersambung...

Senin, 01 September 2014

Rey & Sarah tak berhenti berkisah (18)

Sambungan...


Hari Raya Idul Fitri telah berlalu. Namun, belum ada tanda dari Rey untuk datang ke rumah Sarah. Pesan singkat atau panggilan telepon juga tiada. Ia segera menghubungi seseorang.

"Hallo...! Kamu apa kabar?"
"Baik. Tumben siang-siang telpon. Lagi nggak bertapa nih?"
"Ahahaha. Bertapa? Mau menulis kan nggak harus bertapa. Gimana dengan nilai IPK?"
"Hah? IPK? Mau tak mau, aku harus bersyukur karena nggak sampai terjun bebas"
"Nah, kalau belajar serius itu boleh. Asal kesehatan dan pola makan dijaga. Kan kamu juga yang repot kalau sedang nge-drop."
"Iya deh. Makasih sarannya"
"tutt...tut...tut..."

Rey lupa mengisi ulang pulsanya yang entah tersisa berapa ribu tadi pagi. Tiba-tiba, ponselnya berdering.

"Kak, kok terputus?"

Rey terdiam dan seolah mengalami freeze sekian detik lalu mencoba membangun kesadarannya kembali.

"Nggak tau nih. Pulsanya yang bocor. Hehehe."

Rey kembali mencoba mengingat-ingat, apakah ini pertama kali dia mendengar kata "kakak" dari suara di seberang telepon.

"Kok diam kak?"

"Eee...nggak..ini...di kamar agak berantakan. Kakak sedang mencari beberapa lembar kertas"

"Kertas? terselip di dompet mungkin. Atau, coba cari di depan cermin."

Rey langsung mengalihkan pandangannya pada cermin yang menempel di dinding. Memang, ada secarik kertas yang menempel disitu. Tapi bukan itu yang ia cari. Lalu mencoba merogoh kantong celana dan membuka dompet. Ia tak menemukan apa-apa selain deretan kartu nama, kartu identitas, kartu donor darah, dan sebuah foto yang sengaja ia balik. 

"Tak ada. Tebakanmu salah. Hahaha"

"Wah, sayang sekali ya kak. Saya memang tak berbakat menjadi tukang ramal"

"Hahaha. Sudah pandai melawak rupanya. Oh iya, sudah dulu ya. Lain waktu kita lanjut."

"Oke oke."

Rey akhirnya menemukan kertas yang ia cari. Ia temukan bersama senyumannya yang entah menyimpul dengan sendirinya. Pekerjaannya harus ia tuntaskan sebelum tengah malam. Saat membuka laptopnya, ia temukan sticky note di sudut kiri atas. Ia lalu meninggalkan kamarnya. 

Bersambung...

Minggu, 31 Agustus 2014

Florence, Narsisme, dan Media Sosial

Mengikuti pemberitaan di media sosial, saya cukup tertarik untuk menyikapi hal yang cukup menyita perhatian di Jogja sana. Khususnya perkara yang katanya "merendahkan" warga yang berdomisili di Jogja.

Sebelum membahas ini, saya ingin membawa ingatan kita pada kasus yang menimpa remaja putri dan seorang ibu hamil di KRL. Ingat kan? Dengan nada-nada miris sekaligus umpatan-umpatan sinis tentunya. Ada yang mendukung, tapi tak sedikit yang balik menyerang.

Lalu, kasus ibunda Negara yang cukup reaktif di akun jejaring sosialnya. Tak terima dikritik (mungkin lebih tepatnya disinggung secara tak langsung) di dunia maya, spontan beliau malah berkoar-koar tanpa nalar barangkali.

Jika sudah ingat dua contoh kasus di atas, mari kita bandingkan dengan kasus yang terjadi pada saudari kita, Florence. Apa yang terjadi padanya, baik reaksinya, tingkah lakunya, hingga kondisi psikologisnya saat ini, bisa saya katakan, beda tipislah dengan kasus-kasus sebelumnya. Kita bisa memburu hal-hal ini dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apa yang menyebabkan kita bisa bereaksi sedemikian rupa. Atau, bagaimana pengaruh media sosial pada kondisi kejiwaan masyarakat kita saat ini.

Ngomong-ngomong tentang narsisme, atau yang lebih kita kenal dengan narsis (pemujaan dan sikap bangga yang berlebihan terhadap diri sendiri) muncul sudah lama sekali. Nenek moyang kita bisa jadi belum lahir. Ya, kira-kira ia ada di zaman Yunani kuno. Ini menurut para sejarawan.  Lalu, kita dihujani oleh teknologi yang sangat canggih bernama internet. Dan bermuncullah berbagai macam cabang-cabang yang menyuburkan proses atau kejadian narsisme tadi. Atau yang lagi tren, katanya, adalah selfie.

Nah, ternyata, para ilmuan dan peneliti yang sudah melakukan penelitian mendalam tentang narsisme dan kaitannya dengan media sosial menemukan hasil yang mengejutkan (entah ini mengejutkan bagi beberapa kalangan atau memang ada yang tak terkejut dengan ini karena sudah memprediksi jauh-jauh hari). Sehingga, kesimpulan sementara saya (kayak orang serius aja nih, hahaha), kasus yang menimpa remaja putri dan ibu hamil, ibu negara, hingga pada Florenca adalah buntut dari narsisme dan media sosial. Masih belum percaya? Berikut saya lampirkan fakta-faktanya. (saya edit untuk memperjelas tulisan yang ada di gambar)


Gambar asli diambil dari sini

Sebelum menghakimi Florence dan orang-orang terdahulu, saya mengajak diri saya lebih dulu dan anda sekalian untuk mencoba melihat, apakah ada gejala-gelaja narsisme dan efek media sosial yang terjadi pada diri kita. Jika anda merasa menemukan satu atau dua dari enam contoh diatas, atau bahkan enam contoh diatas ada pada diri kita, patutulah kita risau. Berarti, saya atau anda, termasuk dalam kategori "Social Media Anxiety Disorder". Kalau saya terjemahkan bebas menjadi "Kegelisahan yang disebabkan oleh Media Sosial".

Gambar diambil dari sini


Tapi tenang, kerisauan diatas bukan tanpa penawar alias obat. Ada kok cara-cara yang ampuh. Asalkan anda mau menjalani proses terapinya. Agak sulit memang, tapi bukan berarti tak bisa.

Berikut langkah-langkah agar kita terbebas dari pengaruh negatif Media Sosial:

1. Gunakan dengan cermat perangkat/ gadget anda. Upayakan, anda memakainya saat anda memang membutuhkannya.

2. Berteman dengan banyak orang di dunia maya memang mengasyikkan. Tapi ingat, berinteraksi dengan satu orang di dunia nyata itu lebih indah. Pernah mengalami situasi dimana anda berkumpul dan semua orang sibuk dengan layar masing-masing? Menjengkelkan bukan?

3. Tetapkan jadwal dimana anda memang menjadikan Media Sosial sebagai hiburan. Bukan sebagai dunia nyata anda. Sebagai contoh: anda dapat menetapkan satu hari dalam sebulan tanpa perangkat canggih anda.

4. Eksistensi atau ingin disebut eksis bukan diukur dari keseringan anda di dunia maya atau media sosial. Tapi, jika anda ingin lebih eksis lagi, cobalah berinteraksi antar sesama manusia. Atau lebih indah jika anda mencoba menuliskannya. Entah itu di blog, diary, buku tulis, atau apapun medianya. Dan ingat, anda menulis bukan karena ingin eksis, tapi karena anda ingin sharing atau berbagi dengan sesama.

5. Semakin jarang anda berinteraksi di sosial media, semakin sedikit anggaran yang anda keluarkan untuk itu. Atau lebih tepatnya, saya sebut lebih berhemat. Mungkin ini terdengar remeh, tapi bisa jadi sangat penting bagi sebagian orang. Berbicara langsung face to face tak membutuhan biaya ataupun koneksi internet kan? Beda halnya jika anda harus mengirim pesan via Facebook, Twitter, Line, WhatsApp, Path, dan semacamnya.

Wah, panjang juga ya. hahaha. Semoga bermanfaat. Jika anda senang dengan tulisan ini, silahkan dibagi ke teman-teman anda, saudara, kerabat, dan orang-orang yang anda sayangi.

Selamat berinteraksi. Semoga kita menjadi manusia seutuhnya. 

Rabu, 27 Agustus 2014

Kita dan cerita

Entah kita, entah kata
Yang merajut cinta
Hingga lahirlah sebuah cerita

Kata kisah bermula dari kita
Lalu alurnya membentuk aliran sungai
Membawa air cinta yang sejuk

Tidak...!
Jangan kau celupkan dirimu
Bisa jadi kau hanyut bersama cerita yang memberatkanmu

Basuhlah wajahmu
Basahi dahagamu
Rasakan ia menyatu
Bersama diri dan jiwamu

Apakah engkau melihat batu, aliran air, serta pohon besar itu?
Atau menyaksikan kebesaran Ilahi dalam kesempurnaan?

Kamis, 07 Agustus 2014

Karena kematian datang tanpa permisi

Subuh tadi, setelah menyelesaikan sahur bersama, saya bersama ibu segera berangkat ke masjid. Adzan subuh sedari tadi berkumandang melalui corong menara masjid. Kami tertinggal satu raka'at shalat. Ah, betapa ruginya menjadi masbuq.

Tapi, kejadian yang baru pertama kusaksikan adalah salah seorang jama'ah tiba-tiba terbaring. Adik saya, yang tepat berada di belakangnya menyaksikan langsung. Setelah pak imam mengucapkan salam terakhir dalam shalat, sekitar satu atau dua menit, si jama'ah sudah kejang dan tak lama kemudian ia menghembuskan nafas terakhir. Ya, sholat subuh tadi adalah sholat terakhirnya di dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun. Sesungguhnya kita semua adalah milik dan kepunyaan Allah dan kepadaNya kita akan berpulang.

Saya termasuk orang yang percaya bahwa sesuatu terjadi karena ada alasan. Dan keberangkatan saya ke masjid subuh ini, sama seperti subuh-subuh yang lain, bisa jadi Allah ingin menunjukkan kuasaNya, teguranNya, bahwa siapapun yang bernyawa pastilah akan merasakan kematian. Tanpa terkecuali. Tak pandang apakah ia pria, wanita, muda ataupun tua, bergelimang dosa atau sudah taubat, tak ada yang benar-benar tahu bahwa malaikat maut datang memenuhi tugasnya.

وَإِنَّمَا المَرْءُ حَدِيثٌ بعْدَهُ ... فكُنْ حديثًا حسناً لِمَنْ وَعَىَ

Maha Benar Allah dengan segala kuasaNya. 


Jumat, 21 Maret 2014

Rindu



















Apakah rindu itu berbilang?
Hingga seluruh rasa pun harus diukur dengan uang

Apa yang mampu meretas batas?
Pada sebuah elemen cinta yang sangatlah luas

Simpan saja rindumu pada kotak lemari di sudut sana.
Yang lapuk dimakan rayap, hancur dilebur masa.

Apa yang kau harap dari pasanganmu?
Perhatian?
Kasih sayang?
Belaian mesra?
Tidakkah kau sadar
Kekasih sebenarnya telah memberi apa yang kau butuhkan.

Masihkah menyimpan hasrat cinta lebih tinggi kepada ciptaan?

Deretan waktu semakin membuatku  ragu.
Apakah kau mencintaiku melebihi cintamu pada pencipta-Mu?


Selasa, 18 Maret 2014

Gadisku

Ada yang tak biasa pada kata
Saat rasa hadir di tengah kita

Aku terpaku.
Dihantam godam raksasa penguasa. Tertancap dalam belenggu.
Lalu lapuk berkarat.

Ramai riuh mereka mengangkat panji.
Yang diyakini sebagai bukti.
Apa isi dalam kepala telah mati?
Tak melihat jelas apa yang sedang terjadi.

Air dari langit tak sebanyak kemarin.
Saat aku melihat jutaan mata berlinang.
Cacing dalam perut meronta.
Mungkin mereka telah lama berpuasa,
Tanpa pernah berbuka.

Wahai gadisku.
Rambutmu selebat hutan negeriku.
Kulitmu semulus jalan berlobang.
Matamu sejernih pengemis tua di sudut jalan.
Aromamu semerbak tumpukan sampah di pinggir jalan.

Aku harus merawatmu.
Menjagamu semampuku.
Meski banyak yang mengobral cinta padamu,
Aku tak akan berpaling.
Seperti garuda, yang enggan melihatmu lagi.