Rey & Sarah tak berhenti berkisah (21)
sambungan...
Rey beranjak dari kursinya hendak memesan sesuatu. Ia menulis di atas secarik kertas. Dua gelas air hangat. semangkuk bubur ayam dan sebuah lilin. Ia berikan pada pelayan dan kembali ke mejanya.
"Apa tanggapanmu kali ini Rey?" Sarah kembali bertanya dengan tatapan yang mulai serius.
"Saya tidak ingin menanggapi ini. Mengapa kau terlihat tegang?"
"Apa harus kukatakan bahwa aku ingin menolak lamaran yang datang padaku karena aku menunggumu?" kali ini Sarah menunduk malu.
Rey membetulkan letak kursinya dan membuatnya sedikit lebih maju. Tangannya ia letakkan di atas meja bulat yang tanpa taplak. Wajahnya condong ke arah Sarah. Belum sempat ia berbicara, seorang pelayan datang mengantarkan pesanan.
"Ini pesanannya. Dua gelas air hangat, semangkuk bubur ayam dan sebuah lilin. Terima kasih"
"Iya. Terima kasih kembali." Jawab Rey singkat.
Sarah agak terkejut. Okelah bila ada mangkuk berisi bubur ayam dan air hangat. Tapi, untuk apa lilin yang dipesan Rey. Belum tuntas keheranannya, Rey berucap,
"Selamat ulang tahun ya. Sudah 22 tahun kamu menghirup oksigen yang tak berbayar ini. Meminum air yang entah kapan habis. Semakin banyak masalah datang menghadang, kamu akan lebih tangguh menghadapinya kan? Saya pun tak akan mengira bila harus menemanimu dalam suasana seperti ini."
Sesak yang dirasa di dada, Sarah tumpahkan dalam bulir-bulir air mata. Jatuh melewati pipi tanpa make-up. Ia seolah tak percaya bila berada dalam situasi yang ia sendiri tak bisa suarakan. Rey menyodorkan sapu tangannya.
"Menangislah Sarah. Saya akan senang berada disini sampai kau selesai dengan matamu yang terus basah."
Rey tahu, percuma menasehati seseorang yang sedang menangis. Karena menangis adalah bentuk ekspresi diri. Dan tak baik bila seseorang menangis dan menyuruhnya berhenti. Itu sama saja bila kita bahagia lalu tertawa dan kemudian berkata "berhentilah tertawa".
Sarah pamit ke kamar kecil. Ingin membasuh wajah, katanya. Tak lama kemudian, ia kembali dengan raut yang lebih segar meski matanya agak membesar dan merah.
"Bisa juga kamu nangis ya?" ledek Rey
"Kamu pikir aku ini robot apa?" Sarah menjawab dengan raut wajah kecut sambil tersenyum.
"Itu bubur ayam udah dingin. Makan dulu deh. Kamu pasti lapar. Setelah itu, kita lanjut bercerita. Deal?
"Oke deal. Kamu harus menjawab pertanyaanku setelah sendok terakhirku."
"Iya. Makan dulu sana"
Rey merogoh saku jaketnya. Mengambil ponselnya. Kemudian membalas beberapa pesan yang masuk. Diantara pesan tersebut, terselip sebuah pesan dari Eva.
Bersambung...
Rey beranjak dari kursinya hendak memesan sesuatu. Ia menulis di atas secarik kertas. Dua gelas air hangat. semangkuk bubur ayam dan sebuah lilin. Ia berikan pada pelayan dan kembali ke mejanya.
"Apa tanggapanmu kali ini Rey?" Sarah kembali bertanya dengan tatapan yang mulai serius.
"Saya tidak ingin menanggapi ini. Mengapa kau terlihat tegang?"
"Apa harus kukatakan bahwa aku ingin menolak lamaran yang datang padaku karena aku menunggumu?" kali ini Sarah menunduk malu.
Rey membetulkan letak kursinya dan membuatnya sedikit lebih maju. Tangannya ia letakkan di atas meja bulat yang tanpa taplak. Wajahnya condong ke arah Sarah. Belum sempat ia berbicara, seorang pelayan datang mengantarkan pesanan.
"Ini pesanannya. Dua gelas air hangat, semangkuk bubur ayam dan sebuah lilin. Terima kasih"
"Iya. Terima kasih kembali." Jawab Rey singkat.
Sarah agak terkejut. Okelah bila ada mangkuk berisi bubur ayam dan air hangat. Tapi, untuk apa lilin yang dipesan Rey. Belum tuntas keheranannya, Rey berucap,
"Selamat ulang tahun ya. Sudah 22 tahun kamu menghirup oksigen yang tak berbayar ini. Meminum air yang entah kapan habis. Semakin banyak masalah datang menghadang, kamu akan lebih tangguh menghadapinya kan? Saya pun tak akan mengira bila harus menemanimu dalam suasana seperti ini."
Sesak yang dirasa di dada, Sarah tumpahkan dalam bulir-bulir air mata. Jatuh melewati pipi tanpa make-up. Ia seolah tak percaya bila berada dalam situasi yang ia sendiri tak bisa suarakan. Rey menyodorkan sapu tangannya.
"Menangislah Sarah. Saya akan senang berada disini sampai kau selesai dengan matamu yang terus basah."
Rey tahu, percuma menasehati seseorang yang sedang menangis. Karena menangis adalah bentuk ekspresi diri. Dan tak baik bila seseorang menangis dan menyuruhnya berhenti. Itu sama saja bila kita bahagia lalu tertawa dan kemudian berkata "berhentilah tertawa".
Sarah pamit ke kamar kecil. Ingin membasuh wajah, katanya. Tak lama kemudian, ia kembali dengan raut yang lebih segar meski matanya agak membesar dan merah.
"Bisa juga kamu nangis ya?" ledek Rey
"Kamu pikir aku ini robot apa?" Sarah menjawab dengan raut wajah kecut sambil tersenyum.
"Itu bubur ayam udah dingin. Makan dulu deh. Kamu pasti lapar. Setelah itu, kita lanjut bercerita. Deal?
"Oke deal. Kamu harus menjawab pertanyaanku setelah sendok terakhirku."
"Iya. Makan dulu sana"
Rey merogoh saku jaketnya. Mengambil ponselnya. Kemudian membalas beberapa pesan yang masuk. Diantara pesan tersebut, terselip sebuah pesan dari Eva.
Bersambung...
Komentar