Bebas?
Tadi siang, sesaat setelah selesai mengurus paspor di kantor
imigrasi, saya mencoba membuka situs jejaring sosial yang penduduk
Indonesia berada di peringkat kedua dunia. Saya agak tersentil dengan
sebuah catatan yang berisi opini (kalau saya mengganggap lebih kepada
ekspresi penulis akan kebebaasan dan sebagainya). Lagi-lagi, ini tentang
tubuh seorang perempuan.
Ngomong-ngomong tentang
kebebasan, menurut KBBI, artinya adalah keadaan bebas, kemerdekaan.
Kalau bahasa inggris sih ada istilah Freedom yang berarti The power or right to act, speak, or think as one wants. Ada juga kata Liberty yang berarti The state of being free within society from oppressive restrictions imposed by authority on one’s behaviour or political views. Nah, bagi saya, tak ada kebebasan yang betul-betul bebas tanpa batas. Tak ada kemerdekaan hakiki. Mengapa?
Pertama.
Kebebesan
yang dianut masing-masing orang adalah berbeda. Pun dengan pemahaman
tentang kebebasan itu sendiri. Contoh, bisa jadi, bebas bagi anak
sekolah adalah tak ada kelas, tak ada pekerjaan rumah dan hanya bermain
terus menerus. Pasti beda dengan kebebasan yang diinginkan oleh
seseorang yang sedang dalam tawanan atau mendekam dari bilik jeruji
besi. Jadi, perlu kita duduk bersama sembari diskusi (kalau perlu
ditemani teh dan biskuit) tentang kebebasan yang kita anut.
Kedua.
Dalam buku yang dikarang oleh Kang Jalal, Rekayasa Sosial, salah satu kesalahan berfikir adalah Argumentum ad Verecundiam.
Berargumen dengan menggunakan otoritas. Nah, saya mencoba untuk tidak
menggunakan ototritas agama dalam hal ini. Mengapa? Karena, jika memakai
frame agama, akan jelaslah perkara-perkara halal dan haram.
Surga dan Neraka. Amal dan dosa. Dan selesailah diskusi panjang tentang
tubuh perempuan beserta aurat-auratnya. Tapi, ini belum cukup. Jika
agama belum mampu untuk memberikan pandangan baik dan buruk, maka fungsi
sosial adalah salah satu jawaban untuk itu.
Ketiga.
Nah,
ada pertanyaan terkait kondisi sosial masyarakat kita hari ini. Apa
betul-betul mampu untuk menjalankan fungsi sosialnya? Tengok saja kasus
Florence beberapa saat yang lalu. Setelah dihujani kritik dan dihantam
cercaan, seolah masyarakat tak sadar telah salah dalam "mengeksekusi"
apa yang harusnya "dieksekusi". Kok bawa-bawa masyarakat sih? Ya iyalah,
karena jika ingin memperbaiki suatu masyarakat dan bangsa, harus
berawal dari perempuannya. Setuju nggak? hehe
Keempat.
Sekali
lagi, mengajak orang dalam kebaikan janganlah dengan kekerasan,
pemaksaaan, apalagi sampai menumpahkan darah dan melenyapkan nyawa. Saya
pun sangat tak setuju meski itu atas nama agama dan Tuhan. Karena, saya
yakin, agama dan para pengikutnya menyeru dalam damai. Dalam perilaku,
tutur kata dan sikap-sikap terpuji. Dalam agama yang saya yakini, memang
ada anjuran agar tak ada paksaan dalam mengajak. Jika belum mampu
mengajak dari tempat-tempat ibadah, cukuplah diri sendiri menjadi magnet
untuk mengajak orang menjadi lebih baik.
Salam Damai dan Cinta
Komentar