Tamalanrea sore ini

Setelah menyegarkan diri dengan guyuran air di bak, saya bergegas menghidupkan mesin motor yang seharian terparkir di samping rumah. Tak lupa, jaket merah dan helm dengan warna yang sama. (Ciyyee, mahasiswa almamater merah :p )

Saya mulai menyusuri jalan-jalan kecil yang ramai dilalui oleh kendaraan roda dua. Ada jalan yang beraspal, tak beraspal, ada pula yang berpaving. Ada yang tinggi, juga ada yang rendah. Beruntung, peredam getar motor saya masih layak fungsi.

Deretan toko dan warung kecil saling berhadapan di sepanjang jalan yang tembus ke kampus. Warung makan, toko kelontong, jasa pengetikan dan print, tukang gunting rambut, dan tak ketinggalan penjahit yang biasa memodifikasi pakaian mahasiswa (motor kali dimodifikasi). Hahaha
Setidaknya, ada dua portal yang menutup akses dari workshop yang berbatasan langsung dengan kampus. Kami, mahasiswa kampus merah menyebut area workshop sebagai pusat kehidupan. Ya, hal-hal yang saya sebutkan diatas adalah bukti eksistensinya.

Jalan aspal kampus cukup mulus. Hanya beberapa saja yang berlubang. Dan akses menuju rektorat tentu harus bagus. Nyaris tak ada cacat. Saya melanjutkan perjalanan melalui pintu dua (karena kami menyebut gerbang utama sebagai pintu satu).

Di pintu dua, terdapat dua rumah sakit besar. Makanya, jangan heran bila melihat deretan mobil terparkir hingga badan jalan. Saya tak tahu, apakah pemilik mobil tersebut mengambil hak pengguna jalan yang lain? Kemacetan sering tak terelakkan. Jika pengendara motor dan mobil mengeluh kemacetan, lalu, apa mereka sadar akan ulah memarkir di bahu jalan. Entahlah.

Masuk di jalan poros, jalanan sore itu cukup ramai. Saya melihat seorang personil polisi menjaga tepat di deretan warung di ujung pintu dua. Saya hanya memacu motor dengan kecepatan 20km/jam. Cukup lambat untuk kategori pengendara disini. Saya mencoba menikmati pemandangan kota yang digadang-gadang menjadi "Kota Dunia". Huh.

Sepuluh menit berkendara, saya tiba di kios kecil di samping kantor imigrasi. Setelah membeli dua buah kartu untuk dipakai internet, saya langsung pulang.

Dalam perjalanan kembali, saya melihat beberapa anggota TNI, sepertinya mereka anggota baru, yang sedang diperiksa di pos masuk. Ada pula seorang yang bersembunyi di balik pohon sambil melepas jaket yang ia kenakan. Sedangkan teman-temannya sudah berbaris rapi di pos penjaga. Saya langsung  teringat beberapa tahun silam saat masih "mondok" di pesantren. Para santri, yang baru saja tiba dari luar pesantren, harus melapor di bagian keamanan. Dan ini hukumnya wajib. Karena kita mempunyai surat jalan dan itu harus dikembalikan di kantor bagian keamanan. (Yang terlambat, jangan harap anda akan bebas dari hukuman). Haha

Sebelum gerbang menuju BTP, lampu lalu lintas menyala merah. Sore itu, kendaraan menuju kota tak seramai biasanya. Hanya beberapa deret mobil kebelakang. Dan lampu pun berubah hijau. Saya melanjutkan perjalanan dengan pelan.

Saya berbelok di depan asrama tentara di yang berdekatan dengan Pesantren IMMIM, salah satu pesantren terkenal di Sulawesi Selatan dan Indonesia. Lalu, berbelok di pintu dua.

Saya tak melintas di jalur yang menuju fakultas sastra, tapi memilih untuk berkeliling lingkungan kampus yang sore itu dilalui oleh orang-orang yang lari sore. Ada yang sendiri, berdua, maupun bergerombol. Saya melintasi fakultas hukum, fakultas ekonomi, baruga kampus, fakultas kedokteran dan fakultas kesehatan masyarakat dan gedung pascasarjana.

Di tikungan FKM, di sebelah kanan, terhampar tanaman buah naga. Pastinya milik fakultas pertanian. Lalu ada politeknik di sebelah kanan. Berhadapan dengan fakuktas ilmu perikanan dan kelautan. Lalu, fakultas MIPA dan fakultas teknik.

Saya berbelok ke kanan, melintasi portal yang tertutup di sebelah kiri. Persis di samping warung lalapan yang harganya delapan ribuan rupiah.

Lalu, apa ceritamu sore ini?

Komentar

Postingan Populer