Belajarlah...!

Ada yang beda dengan musim penghujan kali ini. Aku dapat merasakannya. Aku ingat beberapa tahun lalu, ketika musim penghujan menghampiri kami. Dia, musim penghujan itu, selalu tepat waktu. Dia tak pernah ingkar janji. Selalu datang saat dia harus datang. Tapi sekarang, entah mengapa dia telat hadir. Aku pun tak tahu penyebabnya. Ada yang bilang karena akibat global warming. Beberapa lain bahkan mengatakan proses alamiah. Hah? Sangat lucu ya. Seakan manusia tak sadar apa yang mereka perbuat.

Mengawali tahun baru ini, katanya, haruslah dipenuhi dengan resolusi-resolusi baru. Entah apa maksud dari kata "resolusi" itu. Seolah orang-orang ingin berlomba mendapatkan diri mereka lebih baik dari yang lain. Tapi, realitanya tidak selamanya demikian. Cobalah tengok kepada orang yang untuk melanjutkan hidup terasa amat susah. Lihatlah orang-orang yang terjebak dalam perang yang berkepanjangan. Atau, orang-orang yang dipastikan tercekik dengan krisis pangan. Apakah mereka pernah berpikir tentang resolusi tahun baru? Ataukah, setidaknya pernah terlintas tentang hidup yang lebih layak? Hidup yang tak mendengar deru mesin baja bersenjata? Letusan bom yang tak henti bersahut-sahutan? Atau suara mesin jet yang selalu melintas di atas kepala mereka? Pikirlah sendiri.

Bagiku, tahun baru tetaplah seperti tahun-tahun sebelumnya. Selalu ada kisah dan perjalanan yang sarat dengan pelajaran berharga. Tidakkah kita lihat tanda-tanda itu? Angka tahun itu, akan selalu berganti. Tak peduli apakah kita menjalani dengan baik atau sebaliknya. Tahun akan terus berganti. Akankah ada orang yang peduli dengan tahun yang kau jalani? Satu hal yang selalu kugarisbawahi, hidup ini adalah belajar. Belajar untuk memahami. Belajar untuk memberi. Belajar untuk merelakan. Belajar untuk hidup.

***
Seorang bayi yang baru lahir itu terisak di pangkuan ibunya. Tangisan yang membantu pernafasannya di dunia. Organ tubuh yang sangat peka dengan dunia baru. Sang ibu dengan wajah yang tampak letih setelah persalinan mencoba menenangkan sang bayi dengan pelukan hangatnya. Seakan terbayar sudah.

"Selamat, anda menjadi seorang ayah, anak anda lahir denga selamat. Laki-laki" seorang dokter berkata pada pria yang sedari tadi menunggu di luar kamar.

"Makasih dok, boleh saya masuk menemui mereka?" tanya sang pria.

"Silahkan" jawab sang dokter.

***

Ingatan saya yang paling jauh adalah ketika almarhumah nenek saya mengupas sisa-sisa kulit buah durian yang menempel di biji. Dengan kukunya ia kupas dengan perlahan. Masih teringat jelas tangannya yang dibalut dengan kulit yang sudah menyiratkan usianya. Jika mungkin saya punya foto nenek, pastilah seorang wanita yang cantik jelita, seperti ibu saya. 

Kakek saya yang masih hidup, umurnya kira-kira 90 tahun. Beliau juga tak ingat tahun kelahirannya. Dulu, ketika pendidikan sekolah dasar masih bernama sekolah rakyat, kakek termasuk murid yang keren. Ke sekolah mengenakan rompi (di zamannya, tidak semua orang mampu mengenakan rompi). Uang jajan yang senilai beberapa gulden (waktu itu masih zaman penjajahan belanda) mampu untuk membeli makanan bagi beberapa murid. Andai saja saya hidup pada zaman itu.

Dari semua ini, saya kembali teringat pada buku pelajaran ketika masih bersekolah di pesantren dulu. Seorang ulama dalam syairnya berujar kurang lebih seperti ini, "setiap bertambah ilmuku, maka bertambah pulalah kebodohanku". 


"Belajarlah, karena tak ada seorangpun yang terlahir dalam keadaan pandai (berilmu)"

Komentar

Postingan Populer